Diceritakan ada salah satu kerajaan besar, gêmah ripah karta raharja, murah sandhang murah pangan, tata têntrêm tulus apapun yang ditanam, sampai-sampai jadi tempat tujuan pengungsian orang-orang dari mancanegara. Akan tetapi ada sedikit cacatnya, rajanya yang sedang bertahta di Negara itu, termasuk patih, nayaka, bupati, mentri serta para priyayinya, nalarnya sempit seperti kanak-kanak. Jelasnya, sang raja beserta seluruh para abdinya berwatak sok pintar, ngawur, urakan, manja, antipati dianggap bodoh, kesukaannya selalu dipuji pandai. Terlebih lagi sang raja sendiri, sangat bersuka hati kalau mendengar kata pujian akan beliau.
Pada suatu hari, saat sang raja keluar pertemuan. Di hadapannya ada patih, nayaka, bupati, mantra dan para abdi pegawainya lengkap hadir. Abdi yang kebetulan bertugas jaga melaporkan, kalau ada orang muda yang mohon menghadap sang raja untuk mengantarkan kiriman hadiah yang lebih indah dan mewah. Raja pun memperbolehkan.
Pemuda itu diiringi masuk ke hadapan sang raja. Kyai patih dan para priyayi di pagelaran tertegun semua, heran memandang pemuda yang sepertinya tangkas, halus sikap perbuatannya, pandangannya tajam, penampilannya tidak mengecewakan, malah mempesonakan semua yang memandangnya.
Pemuda tadi masuknya menyangga nampan yang lebih menawan dan lebih bagus pengerjaannya, tertutup dengan sutra hijau pupus serta memakai bunga-bunga yang lebih halus dan indah warnanya. Dari perkiraan sang raja serta pendapat yang sedang hadir, baki berikut sutra kirimannya itu.
Saat pemuda itu sudah duduk di tempatnya, raja bertanya, “He, anak muda, ada perlu apa kamu menghadapku?”
Jawab si pemuda dengan tenang, “Paduka, raja yang berkuasa di jagad, saya tahu bahwa di atas bumi di bawah langit, tiada duanya raja yang agung luhur, begitu berwibawa, sakti tanpa tandingan, seperti yang mulia. Tidak ada raja yang kaya harta benda, mas intan ataupun permata, gurunya guru seperti paduka saya yang mulia. Tidak ada raja yang adil bijaksana dalam setiap mengambil keputusan, tidak mengecawakan setiap pengabdiannya pada negara, seperti paduka panutan hamba. Di dunia tiada raja yang dibangga-banggakan memiliki banyak prajurit yang sangat terampil bisa diandalkan pekerjaannya juga setia lahir dan batinnya kepada raja junjungannya seperti paduka. Tidak ada orang besar berbudi pekerti luhur penuh cinta kasih dalam dirinya seperti paduka sendiri.
Nama paduka begitu harum semerbak memenuhi bumi bagai bunga mawar yang sedang mulai mekar. O, paduka rajanya dunia, hamba terlau berperibahasa: memuji manisnya gula, sebab semua itu jelas nampak terang benderang seperti waktu siang. Paduka, hamba yang terlampau hina ini selalu memuji besar luhurnya nama dibandingkan hamba sendiri.
Karena itu setiap malam hamba tidak berhenti berangan-angan mendalami budi memperpanjang nalar, yang menjadikan kagumnya kejayaan nama paduka yang sampai memenuhi bumi, bagai terangya sinar cahaya purnama di musim kemarau. Sekarang, berkat sawab berkah paduka, hamba mendapat wujud dari nalar yang selalu panjang, bisa membuat barang yang lebih bagus, lebih kuat, yang selama ini di dunia belum pernah ada. Dasar memang tidak ada raja yang pantas memakai baran yang begitu indah, kuat seperti ini terkecuali paduka junjungan hamba sendiri.
Sedangkan barang yang akan hamba haturkan tadi berupa sutra tenunan, tenunan hamba sendiri. Hamba dapatkan anugrah Tuhan dapat menenun sutra yang paling indah dan cantik tadi dengan tebusan tapabrata mati raga lamanya satu windu, dengan berbekal hati suci rangkap sabar tawakal lahir batin. Sebab itu bukanlah aneh, bila sutra tadi, benangnya saja dari surga, serta sudah dipastikan cuma bisa menjadi pakaian paduka, dibandingkan sesame sutra di dunia, masih tetap lebih indah, halus mulus, tidak seluruh hamba Allah dapat melihat sutra dari surge itu, hanya para mahkluk yang lebih bijaksana bagi sesamanya saja yang dapat melihat.”
Selesai ucapan pemuda itu, lalu membuka nampan, sutra penutup diambil, nampan kosong dihaturkan kepada sang raja sambil berjongkok, “Paduka, rajanya dunia, ini inilah sutra indah dari surga yang turnnya ke dunia untuk menjadi pakaian paduka.” Demikian ucapnya sambil menggerayangi permukaan nampan kosong yang dihaturkan.
Sang Raja di batinnya heran bukan kepalang, kok nampan kosong dikatakan berisi sutra, akan tetapi dibatinnya saja, khawatir akan terucap dituduh: bodoh, kurang bijaksana, makanya seketika itu juga tangannya lalu menggerayangi permukaan nampan kosong itu, serta menggerak-gerakkan jemarinya seperti memegang sutra, nampak dari wajahnya yang cerah dan matanya yang berbinar-binar, sang raja sangat senang hatinya, lalu berkata kepada semua yang hadir, “Para abdi sekalian, hari ini adalah hari yang baik sekali buat kalian semua, saya menerima hadiah sutra yang bahannya dari surge, tenunan pemuda ini. Sudah tentu sutra ini datangnya dari surge dan dipastikan menjadi pakaianku, terlampau berbeda dengan sutra dari dunia, tidak semua orang bisa melihat, hanya para bijak yang lebih dari sesama saja bisa menyaksikan wujudnya.”
Setelah sang raja berkata demikian, lalu menyerahkan nampan pada kyai patih. Di dalam batin, kyai patih juga heran, “Penglihatanku nampan ini kosong, tapi sang raja mengatakan berisi sutra, kalau begitu aku ini bodoh, tidak bijaksana seperti raja, yang tahu sutra ini.” Akan tetapi karena saking enggannya dianggap bodoh, kyai patih juga tidak henti-hentinya mengelus-elus sutra gaib itu, dan menggeleng-geleng tak henti-henti, menunjukkan pujian dan keheranannya. Selanjutnya, atas seijin raja, sutra gaib itu ditunjukkan kepada semua yang hadir sowan agar melihat semuanya. Nampan kosong diedarkan berkeliling, pendapat semuanya tidak jauh berbeda dengan kyai patih ataupun sang raja.
Diceritakan sang raja saking senang hatinya, selain bertitah panjang lebar, mengatakan rasa syukur dan besar hati menerimanya serta memberikan hadiah berupa uang seratus ribu dinar dan tanah sawah seribu jung kepada pemuda yang bijaksana dan setia sujud mengabdi kepada rajanya. Yang mendapat anugrah hadiah mengucapkan beribu banyak terima kasih.
Sang raja saking segeranya ingin memakai busana sutra gaib dari surga, seketika itu memerintahkan penjahit istana untuk memotongi dan menjahit sutra halus tadi. Penjahit istana yang mendapat perintah menyatakan kesanggupannya, sebab pendapatnya juga tak beda jauh dengan para abdi kebanyakan.
Setelah penjahit istana mundur dari hadapan sang raja, meminjam sutra yang bakal dikerjakan, pemuda tadi mengajukan pendapat, “Paduka, yang disembah di dunia semoga diajuhkan dari kemarahan, perkenankan hamba menyampaikan sesuatu kepada paduka.” Sang raja agak terkejut, akan tetapi tidak marah, katanya, “Iya, katakana apa yang akan kamu sampaikan itu.” Pemuda itu menjawab, “Paduka, supaya memberikan kebijaksanaan kepada saya untuk menjadikan, lebih istimewanya nama hamba, terutama sekali paduka bersedia datang menyaksikan busana tenun sutra gaib, mulai dari warna benang sampai menjadi sutra.”
Sang raja bersedia mendengar pendapat pemuda tadi, seketika itu juga berdiri dan secepatnya berangkat ke rumah pemuda tersebut, diantar kyai patih serta seluruh abdi.
Pemuda tersebut di rumahnya mempunyai alat yang jarang dioperasikan, mirip dengan peralatan untuk pabrik-pabrik. Saat peralatan itu dioperasikan, roda serta perlengkapan lainnya turut bergerak, bersambungan dan bergandengan satu dengan lainnya, rumit sekali membuat bingung dan linglungnya orang yang bukan ahli soal permesinan. Alat tadi sesekali degerakkan oleh pemuda yeng memilikinya itu, akan tetapi selamanya belum pernah untuk menenun atau membuat barang lain, hanya untuk kesenangan, jadi ibarat mesin jahit yang dioperasikan, tapi tidak untuk menjahit apapun.
Kedatangan sang raja di rumah pemuda itu langsung dipersilahkan menuju ke tempat penyimpanan alat tadi. Pemuda tersebut lalu menggerakkan alatnya yang juga berputar-putar seperti pada umumnya, serta tak putus-putusnya memberikan keterangan kepada sang raja, proses menenun sutra gaib, mulai dari masih berupa benang berpindah-pindah tempat sampai jadi sutra. Sang raja juga selalu berkata, serta menunjukkan keheranan berikut pujian atas kehalusan benang serta keindahannya, apalagi pada kecanggihan dan kerumitan peralatan tenunnya. Kyai Patih serta para pengikut lainnya tidak berbeda jauh dengan sang raja.
Setelah usai menyaksikan proses penenunan sutra gaib serta sudah cukup puas mengagumi kelebihan dan ketrampilannya, sang raja kembali ke kraton.
Di hari itu juga tersebar berita di dalam negara, bahwa sang raja memerintahkan penjahit istana, membuat busana sutra gaib dari surga yang lebih untuk keindahannya, yang bisa melihat hanya para bijaksanan yang melebihi sesame, orang bodoh tidak akan bisa melihat.
Ketika penjahit istana mengerjakan busana itu, mengguntingi, menjahit, orang-orang yang ingin melihat mengalir berdesak-desakan, datang dan pergi, semua ingin menyaksikan wujud dari sutra gaib tersebut. Di batin orang-orang yang menyaksikan itu heran bukan kepalang, betapa pun sibuknya penjahit istana menjahit dan mengguntingi, akan tetapi tidak ada yang tahu wujud sutranya. Semua tadi saking bencinya dikatakan bodoh, makanya juga selalu menunjukkan pujian atas sutra yang lagi dijahit itu.
Setelah penjahit istana selesai melaksanakan tugasnya, kemudian menghadap sang raja, menyerahkan busana raja yang sudah diselesaikan, berupa: pakaian jas, rompi, kemeja, dasi, celana luar dan dalam, sarung tangan dan kaos kaki lengkap, akan tetapi semua itu tidaklah nampak. Meski demikian sang raja melalui perkataannya merasa cocok dengan potongan serta jahitannya, makanya sang raja hatinya sangat senang sekali, penjahit istana diberikan hadiah yang banyak.
Selanjutnya sang raja memerintahkan kyai patih untuk mengabarkan ke dalam dan luar negara, kalau besok hari anu tanggal anu, sang raja akan berpergian mengelilingi dalam dan luar kota, dengan memakai busana sutra gaib yang turun dari surga.
Tumibane dina kang ditêmtokake, sang prabu ngenggali agêm-agêman sutra gaib mau, nitih dwipangga tindak pêpara, kadhèrèkake kyai patih sarta para abdi santana priyayi kabèh, mubêng-mubêng ing sajabane sarta sajroning nagara.
Tibalah di hari yang sudah ditentukan, sang raja mengenakan busana sutra gaibnya itu, mengendarai kuda pergi berkeliling, diikuti kyai patih serta para abdi pegawai dan semua priyayi, mengelilingi luar dan dalam negara.
Bagaimana pendapat anda sendiri tentang busana sang raja yang berbahan sutra dari surga itu?!
*****
*****
Dari buku: Sawursari (Dongeng untuk anak-anak)
Naskah asli dalam bahasa Jawa
Judul asli: Sutra Gaib
Karya Mas Sindupranata
Cetakan Kedua
Penerbit Bale Pustaka Wèltêprèdhên 1927
Sumber: www.sastra.org
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar