Sabtu, 11 Februari 2012

HIDUP MANUSIA HARUS TOLONG-MENOLONG

Pada suatu hari di waktu sore, kebetulan malam Minggu, Raden Ngabei Harjasuwarna tiduran di kursi panjang sambil membaca Koran. Istrinya sedang merenda di kursi menghadap meja, yang diatasnya ada lampu yang terang benderang. Anaknya yang semata wayang, Raden Bagus Harsaya, yang masih berusia sebelas tahun, belajar di sebelah ibunya, tiba-tiba saja berbicara, “Bu, bu, kenapa, bu, orang-orang kok ada yang jadi kuli, kok tidak memilih jadi priyayi seperti bapak itu, jadi enak, tidak susah?! Aku besok tidak mau jadi kuli, milih jadi priyayi.”


Ibunya sebentar agak terkejut mendengar perkataan anaknya yang agak lain dari biasanya. Renda yang dipegang diletakkan di pangkuan, dan tidak lama kemudian tersenyum menjawab. Katanya, “O, nak, Harsaya anakku. Ketahuilah, ya nak. Semua orang itu juga ingin jadi priyayi, ingin kaya, ingin bahagia, tidak mau susah, ingin selalu sehat, tidak mau sakit. Ingin meenyuruh, tidak mau diperintah. Ingin jadi tuan, benci jadi pembantu. Akan tetapi, keinginan orang-orang jarang yang kesampaian. Kecuali dari itu, nak Harsaya, coba kamu pikir ucapanku ini, seumpama semua orang kaya semua, jadi tuan semua, tidak ada yang jadi pembantu, tidak ada kuli, tidak ada orang memburuh, bukannya malah susah, malah pada susah semuanya. Kalau maumu itu, minta enak malah jadi kesusahan, minta enak seperti tuan malah susahnya melebihi pembantu.”

Raden Bagus Harsaya tambah maju duduknya, berkata kepada ibunya, “Bagaimana bu, lebih jelasnya kata ibu, seandainya kayak an tidak kesusahan, apalagi orang yang kaya uang.”

Ibunya menjawab, “Lah ya, kalau semu-semuanya kaya, tidak kekurangan uang, apa iya ada yang mau buruh, semua pantang jadi pembantu, makanya seberatnya semua malah jadi pembantu. Kalau kamu belum paham, jelasnya begini, kamu setiap hari makan nasi, nasi tadi asalnya dari beras ditanak, yang menanak Bok Jawul batur. Menanak itu harus ada airnya, yang ambil air batur Sariman. Masaknya nasi dengan api, harus ada kayunya, kayu dari beli, yang jual orang desa, asalnya mengambil dari hutan. Nasi yang tadinya beras, beras itu bijinya padi, padi itu yang nanam orang desa. 

Waduh, Harsaya, seumpama kesampaian seperti kemauanmu itu, semua kaya, jadi tuan tidak jadi pembantu, tidak ada yang miskin, ibu atau bapak susah sekali, harus kerja kasar halus rupa-rupa. Bapak harus ke sawah nanam padi sendiri, harus nyari kayu sendiri ke hutan, harus bersih-bersih kebun sendiri, harus nyukur kuda dan nyabit sendiri. Ibu juga harus ke pasar belanja sendiri, harus membersihkan beras sendiri, menanak sendiri, nyuci sendiri. Singkatnya, semua pekerjaan halus dan kasar, berat ringan, bapak atau ibu harus mengerjakan sendiri. Makanya, orang yang banyak sekali itu pada kerja sendiri-sendiri, punya pekerjaan atau penghasilan untuk sendiri-sendiri serta pada rukun, saling menghidupi dari hasil pekerjaannya, seperti kalau kyai pandhe mau membuat baju cukup diserahkan pada greji (penjahit), tidak perlu punya mesin sendiri dan menjahit sendiri, kalau mau berpergian tinggal memanggil dhokar sewaan, tidak perlu punya dhokar dan piara kuda sendiri, kalau mau minum kopi tidak perlu tanam kopi dan bikin gula sendiri. 

Begitu pula kebalikannya, kalau kursinya kyai greji rusak, cukup memanggil undhagi (tukang kayu), kalau bajunya kotor cukup diserahkan ke penatu (tukang cuci-gosok), demikian seterusnya. Jadi, masing-masing orang pada punya keahlian masing-masing setan melayani orang banyak, bekerjanya juga untuk kebutuhan banyak orang, bukan kebutuhan sendiri saja. Akan tetapi Harsaya, kalau mau unggulan kerja begitu saja, ya masih susah, masih ribed. Begini jelasnya:

Kyai pandhe punya banyak sabit dan cangkul, pada suatu hari anaknya sakit, naik dhokar, perlu pergi secepatnya memanggil tabib agar mengobati anaknya. Karena kyai pandhe kaya sabit dan cangkul, jadi kusir atau tabib ya diupah sabit dan cangkul, tapi keduanya tidak mau menerima, sebab si kusir sudah punya sabit, perlunya beras untuk menghidupi anak istrinya. Kyai tabib juga tidak butuh pacul, butuhnya genteng, sebab rumahnya bocor, gentengnya banyak yang sudah pecah. Dikarenakan masih kacau seperti itu, jadi orang-orang bekerja sama lagi agar sama mudahnya dan sama senangnya. 

Bagaimana akalnya, yaitu mengadakan barang yang pasti laku ditukarkan dengan barang apa saja, tidak bakal ditolak seperti sabit atau cangkul kyai pandhe tadi. Hayo, Har, barang apa yang pasti laku ditukarkan?”

Anaknya menjawab, “Anu, perkiraanku uang, bu. Yang pasti laku untuk ditukarkan.”

Ibunya tertawa sambil membelai kepala putranya, jawabnya, “Benar, Har. Benar, kalau kamu punya uang pasti dapat ditukarkan barang semaumu, yang kamu sukai tentunya tidak bakalan ditolak. Kusir dan dhukun menerima upah dari kyai pandhe berupa uang, bukan berupa sabit ataupun cangkul. Sekarang terserah yang punya uang, kusir butuh beras ya dibelanjakan, dhukun butuh genteng, ya datangi tukang buat gentheng, beli gentengnya. 

Sekarang kamu mengerti, Har, kalau kata beli itu sebenarnya tukar-menukar. Umpamnya, Bok Jawul beli gambir satu sen, itu sebenarnya tembaga ditukar gambir. Ibu membelikan topi harsaya seharga satu rupiah, beli dua, itu sebenarnya slake ditukar tudung."

Sampai disitu saja obrolan ibu dan anaknya, Raden Ngabei Harjosuwarno meletakkan korannya, nimbrung, “Sudah tahu, Har, nasehat ibu?”

Anaknya menjawab, “Sudah, pak.”

Sang bapak melanjutkan, “Nah, sekarang bapak mau bercerita, dengarkanlah.”

Anaknya mengatakan, “Aku senang sekali, Pak, mendengarkan.”

Sang ayah menhawab, “Iya, tapi bapak minta rokok dan korek dulu.”

Ibunya menyambung, “Ada di lemari, Har, ini kucinya.”

Raden Bagus Harsaya menerima kunci, masuk ke dalam membuka lemari, mengambil bungkus rokok dan korek. Kembali ke pendapa diserahkan sang bapak serta kuncinya diserahkan ibu, lalu duduk kembali.

Raden Ngabei Harjasuwarna memegang rokok sambil berbicara, “Nah, sekarang dengarkan bapak cerita.”

Diceritakan ada seorang ratu agung perkasa, istananya besar, jajahannya luas sekali, sudah tentu sang prabu tadi juga kaya dan sangat berkuasa. Menjelang hari ulang tahunnya, sang prabu menerima bermacam pemberian barang bermacam-macam, bagus-bagus, indah dan menarik, bukan sekedar dari pegawai dan orang dalam istana saja, juga para ratu agung mancanegara turut memberikan hadiah sebagai tanda dekatnya persahabatan. 

Iya benar barang-barang tadi semua pada cakep-cakep, akan tetapi cuma satu yang sangat membuat senang hati sang prabu, yaitu meja tulis. Saking senang dan jatuh cintanya pada meja tulis tersebut, tak henti-henti memandangnya, tidak segan-segan memuji alangkah bagus dan halus pengerjaannya. Sampai berulangkali untuk mengatakan senangnya hati serta penerimaannya terhadap undagi yang memberikan.

Akhirnya sang prabu memerintahkan kyai patih, besok hari anu tanggal anu yang sudah ditentukan, kyai undagi berikut bawahannya serta seluruh orang, siapapun, yang pernah ikut bekerja sampai jadinya meja tersebut, agar dipanggil masuk ke istana, akan deberikan hadiah kumpul makan bersama dengan sang prabu.

Seperginya kyai patih, mengundang yang jadi kemauan sang prabu. Berita tadi tidak hanya dalam wilayah negara itu saja, malah tersebar ke manca negara, sampai merata di permukaan bumi.

Sesampainya pada hari yang telah ditentukan, ramai sekali dalam wilayah negara, beribu-ribu orang yang akan hadir menghadap menetapi pemberitaan kyai patih. Tidak hanya dari negara-negara yang masuk kekuasaan saja, dari mancanegara juga banyak tanpa terhitung, jalan-jalan dalam kota penuh orang, berjubal-jubal. Menyaksikan itu kyai patih segera menghadap, masuk ke dalam istana, memberitahukan kepada sang prabu, bahwa yang hadir banyak sekali sampai tak terhitung jumlahnya. 

Sang prabu lalu keluar untuk memastikan sendiri laporan kyai patih, dari dalam batin sang prabu sendiri sebenarnya kurang begitu percaya. Begitu menyaksikan halaman istana dan alun-alun seperti lautan manusia berjubal-jubal, sang prabu pun terpaku, kurang memahami nalarnya sendiri, bisa sampai begitu banyaknya orang yang ikut membantu membuat sampai menyelesaikan jadinya satu meja.

Kemudian sang prabu memerintahkan kyai patih, “Coba, patih. Orang segitu itu dipanggil maju dua puluh orang, jangan dipilih-pilih, sedapatnya saja, mau aku tanya: mereka pada membantu apa dalam pembuatan meja itu.”

Setelah orang dua puluh ditanya satu-persatu, demikian jawabnya:
  1. Saya pembantu undagi yang memotong balok-balok bahan meja. 
  2. Saya pembantu yang memasah papan-papan untuk meja. 
  3. Saya yang membuat kaki-kakinya. 
  4. Saya yang mengusung balok bahan meja. 
  5. Saya yang menebang pohon, yang kayunya untuk meja. 
  6. Saya yang memotong cabang-cabangnya. 
  7. Saya kuli hutan yang menanam pohon yang kayunya untuk meja. 
  8. Saya mandor tanaman yang menjaga penanamannya. 
  9. Saya pande besi yang membuat kapak untuk menebang pohon.
  10. Saya petugas pos yang membawa surat tukang kayu saat memilih kayu.
  11. Saya kuli jalan yang dilewati kereta yang mengusung kayu.
  12. Saya kuli toko yang menjual paku.
  13. Saya kuli yang menambang besi untuk paku.
  14. Saya orang desa yang memiliki kambing yang bulunya untuk bludru taplak meja.
  15. Saya tukang gembalanya kambing tadi.
  16. Saya kuli pabrik rempelas yang digunakan untuk menghaluskan meja.
  17. Saya kepala petugas pembesar hutan yang kayunya untuk meja.
  18. Saya pemilik pabrik paku.
  19. Saya pemilik pabrik bludru taplak meja.
  20. Saya kuli pelabuhan yang mengusung peti isi paku pemantek meja.

Disitu sang prabu mengetahui yang jadi penyebabnya, serta percaya, bahwa orang sebanyak itu tadi, semuanya turut membantu membuat sampai jadinya meja tulis, malah juga merasa kalau beliau sendiri juga turut membantu pembuatan meja.

Berhubung yang hadir sampai beribu-ribu begitu, jadi sang prabu tidak jadi memberikan hadiah berupa jamuan makanan atau minuman, hanya memberikan nasehat lewat surat selebaran, yang harga dan manfaatnya melebihi rejeki yang tidak jadi diberikan tadi. Berhubung sudah menjadi kodrat manusia itu hidupnya haruslah saling rukun dan tolong-menolong, seperti meja satu selesainya harus mengerahkan tangan beribu-ribu, makanya yang saling rukun dan menyayangi dengan sesame hidup, yaitu pada menetapi kewajiban masing-masing, yang disebut wajib itu semua pekerjaan yang menjadi tanggungan atau kebutuhannya. Seandainya saja, setiap orang pada menepati kewajibannya, ketentraman, kedamaian dan keselamatan yang didapat.

Raden Ngabehi Harjasuwarna berbicara lagi dengan putranya, “Har, kamu sekarang tahu, kalau setiap orang itu mempunya pekerjaan sendiri-sendiri, dan pekerjaannya tadi bermanfaat untuk orang banyak. Tinggi rendah, kaya miskin, saling rukun tolong menolong. Setinggi apapun juga memerlukan pertolongan yang ditakdirkan rendah. Sekaya-kayanya, uangnya tidak bisa berjalan mencari air dan kayu. Makanya kamu, ngger, anakku, Harsaya, yang rukun dan mengasih-sayang kepada sesame, apalagi kepada pembantu-pembantumu itu, yang sehari-hari melayani kamu, harus kau rangkul baik, sebab itu besar pertolongannya kepadamu.”

Sampai disitu ternyata sudah terlampau malam, Raden Bagus Harsaya sudah mengantuk, pamit bapak-ibu beranjak tidur.

*****

Dari buku: Sawursari (Dongeng untuk anak-anak)
Naskah asli dalam bahasa Jawa
Judul asli: Uripe Manusa Kudu Tulung-tinulung
Karya Mas Sindupranata
Cetakan Kedua
Penerbit Bale Pustaka Wèltêprèdhên 1927

Tidak ada komentar:

Posting Komentar