Di toko kecil yang bernama Chocolate for Life. Toko ini tertata dengan manis. Di dalamnya hanya ada 4 meja kecil yang masing-masing dilengkapi dengan bangku kayu. Waktu itu seluruh ruangan bertemperatur dua puluh derajat. Dingin. Terlihat embun menghiasi jendela toko. Ada seorang pelayan muda di sana. Laki-laki. Sedang memasukkan coklat ke dalam kotak. Sepertinya dia sedang membersihkan display. Sementara di luar, angin dingin berhembus meniupkan daun-daun kering di atas genting. Di salah satu kursi, meja ketiga dari pojok, depan kaca. Di situlah tempat Vian dan Medi duduk. Vian rasakan asap dari cangkir coklatnya menghangatkan wajahnya.
“Coklat panas membuatku merasa lebih enak,” kata Vian dalam hati. “Hmm... sekarang aku bisa tersenyum lagi.”
Di depannya, Medi menatap Vian dalam-dalam. Dia menghela nafas, seperti merasakan beban berat yang menghimpit dadanya dan membuat sukar pernafasannya.
“Vi, sebenarnya ini semua tidak adil, ya. Kenapa kita harus merasa seperti ini?” kata Medi kemudian.
Vian membalasnya dengan senyuman, dan masih memainkan sendoknya di dalam cangkir coklat kental panas di depannya.
“Maksudku itu, Vi. Kenapa? Kenapa kita tidak sama-sama terus saja?” lanjut Medi.
“Kamu sendiri tahu, Med. Kita berdua akan menyakiti orang-orang yang bersama-sama kita,” jawab Vian pelan dengan senyum yang masih melekat di bibirnya.
Lama sekali Medi menatap Vian, seolah besok adalah akhir dunia. Vian pun menggenggam tangan Medi, menggenggamnya dengan lembut dan hangat.
“Med, aku tak pernah menyesal merasakan ini, betapapun sakitnya. Aku juga tak pernah menyesal berkenalan denganmu di airport sialan waktu itu,” kata Vian.
Secara perlahan terjadi perubahan pada air muka Medi. Senyum mulai menghiasi bibirnya. Sepertinya dia begitu menikmati ucapan Vian yang begitu indah didengarnya.
“Aku juga, Vi,” sambil menggenggam erat tangan Vian. “Tahukah kamu, kenapa aku tak pernah menyesal?” katanya lagi.
Ditatapnya lekat-lekat mata Medi. Dilihatnya mata yang besar coklat kegelapan itu bersinar-sinar.
“Meski kita pergi untuk dua arah yang berlainan, sejak di airport sontoloyo itu, tapi kamu ada di dalam sini,” lanjut Medi sambil mengelus dadanya yang bidang.
Mereka berdua tersenyum bersama. Tak ada keraguan. Vian melihatnya dari pandangan mata Medi, dilihatnya ada dirinya sendiri. Dia tahu, dia mempunyai tempat di sana, seperti jiwa Medi akan terbawa terbang bersama Vian semenjak itu. Teringat ketika kemarahan cuaca yang sedemikian buruknya hingga seluruh penerbangan delay sekian lama. Di sebuah airport tua bernama Soekarno-Hatta.
“Jadi, bagaimana kelanjutannya, Medi?”
Medi hanya mengangkat bahunya. Dia tak tahu jawaban pertanyaan Vian dan Vian sebenarnya juga tak perlukan jawaban. Vian tahu, Medi akan menikahi Lena, pindah ke Belanda dan mereka akan hidup berbahagia di sana. Mimpi yang telah dibangun oleh Medi dan Lena sejak sekian lama dan mati-matian memperjuangkannya. Tentunya mereka akan punya banyak anak, cucu dan cicit.
Bisa jadi Medi yang akan hidup lama, menjadi tua dan berjumpa lagi dengannya. Tidak ada yang tidak mungkin, segalanya serba mungkin. Kecuali satu, mencegahnya menikah dengan Lena, tunangannya, wanita yang akan dinikahinya. Tidak seperti itu. tidak boleh begitu. Pikiran Vian mengalir dengan tenang.
“Sepertinya hari ini perpisahan kita, Vi” ucap Medi lirih kemudian menutup mulutnya, seakan ucapan itu begitu menakutkan dirinya.
“Iya, Med. Sepertinya hari ini memang perpisahan kita. Hidup yang kamu miliki akan selalu bersama dengan orang yang kamu impikan, dengan Lena, bukan aku,” kata Vian dengan terus mempertahankan senyumnya. “Dan kamu, tak usah terlalu berpikir tentang aku. Tak perlu terlalu khawatir. Aku hanya ingin kamu betul-betul merasakan kebahagiaanmu itu,” lanjut Vian. “Kisah tentang Medi dan Vian yang terjebak di airport karena cuaca buruk adalah betul-betul kisah kita, Med,” sambil melihat sekelilingnya. “Demikian juga dengan toko coklat ini, adalah kisah kita, tak seorang pun bisa mengambilnya dari kita. Kecuali kita sendiri yang menghilangkannya secara berlahan-lahan. Tapi bagiku itu sudah cukup.”
“Apakah harus kita hapus, Vi? Bagaimana kita menghapusnya?”
“Aku tak bisa kasih tahu apa yang harus kamu lakukan, Med?”
“Kamu sendiri bagaimana, Vi?”
“Kamu akan selalu hidup dalam ceritaku, Med. Di setiap film-film yang aku kerjakan.”
Medi tersenyum.
“Biarkan saja perasaan kita yang berlangsung sekarang tetap hidup dalam novel-novel yang kamu tulis,” Vian tertawa ringan, tetapi menunjukkan ketulusan. Medi sendiri merasakan matanya begitu berat, tetapi dia terus menahan air matanya agar tak tumpah.
“Vi, tidakkah kau tahu?”
“Tahu apa, Med?”
“Sekarang aku tahu, dunia paralel itu benar-benar ada,” kata Medi sambil tersenyum. Vian kini benar-benar tertawa, menggeleng sambil memperlihatkan gigi putihnya yang rapi berderet. Dia tak bisa merapatkan bibirnya sejak mendengar perkataan Medi. “Iya, dunia paralel. Itu kan filmku. Film yang menceritakan dunia aku dan dia,” Pikir Vian.
“Dan di dunia lain itu juga ada Vian dan Medi,” kata Medi sambil mendekap erat tangan Vian di atas meja. Didekapnya erat kemudian mengangkatnya, hingga tangannya yang menggenggam tangan Vian berada di depan wajah mereka. “Tapi yang ini ceritanya beda, Vi. Di dunia sana kita benar-benar bersama. Pada detik ini mereka malah memutuskan untuk pergi bersama.”
“Di mana itu, Med? Apakah jauh dari sini?” tanya Vian.
“Jauh, jauh sekali. Di pinggir pantai yang berpasir putih, lautnya biru. Tak ada apa-apa di sana, kecuali kamu.” jawab Medi.
“Dan pada hari di malam yang cerah. Bersama kita melihat bintang-bintang yang sengaja ditaruh satu persatu untuk kita,” kata Vian.
“Iya, Vi. Di tempat itu juga, bulan dan matahari saling bergantian menemani kita.”
“Apakah di sana kita menanam bunga?”
“Di sana kita menanam bunga. Di saat mekar baunya harum sampai di sekeliling pantai.”
“Tapi tunggu dulu. Apa kerja kita di sana?”
“Aku tetap menulis, dan kamu akan membuat film dari buku-buku yang kita tulis bersama,” kata Medi sambil tersenyum.
“Apa ceritanya, Med”
“Ya, apa saja. Bisa tentang dua orang yang menemukan cintanya di airport, misalnya.”
“Happy ending kah?”
“Ya, ceritanya selalu berakhir bahagia.”
Vian kemudian tersenyum. Matanya tak pernah lepas dari pandangan Medi.
“Tapi, adakah tempat seperti itu, Med?”
“Tentu saja, Vi. Cuma kamu harus percaya. Kalau itu benar-benar ada.”
“Bagaimana akhir kisah dari Medi dan Vian di dunia sana?”
“Mereka terus berkarya. Membuat buku dan film tentang dunia mereka, tentang mereka, sampai akhirnya mereka tua bersama dan meninggal. Di saat itu bulan dan matahari turut bersedih, dan mengiringi kepergian mereka.”
Ditariknya tangan Medi, kemudian diciumnya. “Andai saja kita bisa melihat mereka, Med. Menyaksikan betapa bahagianya mereka berdua.”
Mereka berdua pun melepas malam itu dengan perasaan sedih. Namun, mereka memiliki hal yang masih membahagiakan mereka berdua. Mereka berdua tahu dan yakin, bahwa mereka berdua tak akan terpisahkan lagi.
Selamanya mereka akan selalu hidup dalam jiwa mereka masing-masing. Vian akan hidup di dalam Medi, dan Medi pun demikian. Selamanya. Tidak ada yang dapat mengambilnya. Siapapun.
“Seperti pelangi yang selalu muncul ketika matahari mengeringkan hujan,” kata Vian.
“Betul sekali, seperti pelangi.” Jawab Medi. “Terima kasih Vian, karena kau telah hadir dalam hidupku,” sambil dikecupnya kening Vian sebagai penutup pembicaraan mereka malam itu.
Langit begitu indah, bulan bersinar penuh, bintang-bintang bagaikan ditaruh satu per satu, hanya untukku malam ini. Semakin lama ku menatap bintang, aku melihat cahayanya semakin membias, satu bintang menjadi semakin terang, terang sekali. Timbul keyakinan pada diri Vian, di situlah dunia paralelku.
*****
Note: Disunting dari novel Dunia Paralel karya Micki Mahendra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar