Selasa, 15 Maret 2011

MALAM TERAKHIR

Di toko kecil yang bernama Chocolate for Life. Toko ini tertata dengan manis. Di dalamnya hanya ada 4 meja kecil yang masing-masing dilengkapi dengan bangku kayu. Waktu itu seluruh ruangan bertemperatur dua puluh derajat. Dingin. Terlihat embun menghiasi jendela toko. Ada seorang pelayan muda di sana. Laki-laki. Sedang memasukkan coklat ke dalam kotak. Sepertinya dia sedang membersihkan display. Sementara di luar, angin dingin berhembus meniupkan  daun-daun kering di atas genting. Di salah satu kursi, meja ketiga dari pojok, depan kaca. Di situlah tempat Vian dan Medi duduk. Vian rasakan asap dari cangkir coklatnya menghangatkan wajahnya.

Kamis, 10 Maret 2011

ASEM DEPOK


Pohon asem bercabang lima ini berukuran lebih dari 5 kali panjang lengan orang dewasa. Tingginya sih, tidak terlalu tinggi, sekitar 5 - 6 meter saja dari permukaan tanah. Waktu aku masih kecil pohon asem itu sudah ada, dengan besar dan tinggi sama seperti sekarang. Menurut cerita Bapakku, waktu bapak dan ibu masih kecil pohon asem itu juga sudah ada, bahkan semasa kecil simbahku pun sudah ada, dan lebih anehnya berukuran sama seperti sekarang. Tapi memang benar, siapapun yang mengamatinya, pohon asem ini lebih mirip bonsai pohon asem, cuma ukurannya yang besar saja.

Aku sendiri salah seorang pengagum bonsai. Cuma kadang kurang suka dengan perlakuaannya. Terkecuali kalau bonsai itu sebagai yoni, asli bentukan alam, itu baru aku suka. Yah, seperti asem Depok itu, asli bentukan alam. Andai saja sebagai pohon bonsai, misal dijual tentu harganya bisa berlipat-lipat juta.

Sayang sekali, aku belum sempat mendokumentasikannya dalam bentuk gambar atau pun foto. So pasti, itu pohon asem  so beautiful. Gagah, tegak menjulang di antara tanaman padi di sawah, tanpa menunjukkan sedikitpun kecongkakan pada dirinya. Kokoh, lekuk-lekuk cabangnya yang artistik menunjukkan betapa tua usianya makin keras dan matang karakternya. Ranting-rantingnya meliuk-liuk dan bebas berbagi arah tumbuh, seolah menunjukkan suatu keluwesan dalam kebebasan. Teduh, daun-daunnya rimbun, meski daun pohon asem sendiri berukuran sangat mini, rupanya mampu memberikan segala keteduhan yang ada di bawahnya. Memang, segala yang dimiliki pohon asem ini betul-betul menunjang keangkerannya. Tapi, lain halnya bagiku, dari sudut pandang yang berbeda, ternyata pohon ini seolah dapat menunjukkan suatu nilai kebijaksanaan dan kewibawaan.

Seringkali setiap lewat di sana, membayangkan duduk-duduk berteduh di bawahnya, sambil menikmati pemandangan sawah yang sebegitu luasnya, sejauh mata memandang sawah semua, dan anggunnya deretan perbukitan yang membiru dari kejauhan. Betapa bangsaku yang berlimpah lumbung pangannya bisa berlimpah pula kemelaratan dan kelaparannya. Kadang pula aku berkhayal, di situ menjadi salah satu tempatku untuk berekreasi dan berinspirasi. Atau setidaknya tempat pelarian dari carut-marutnya rasa  ketidakadilan rasa dan suasana. Tapi, niat itu belum pernah terwujud hingga sekarang. Mitos terkadang membuatku takut, dan mistic membuatku berhati-hati berbuat mistakes. Sementara cukuplah dengan mengaguminya dari tempat yang agak jauh saja. 

Bisa jadi usia pohon asem ini, Mbah Depok, seperti yang orang-orang bilang, berumur ratusan tahun lebih. Konon ceritanya, dulu pernah menjadi peristirahatan Joko Bandung Bondowoso dan Dewi Loro Jonggrang (roman candi Prambanan). Selain itu, di bawah pohon asem Depok ini terdapat sebuah sendang (mata air) kecil, menurut ceritanya siapa saja yang minum air atau mandi dari air sendang ini bisa awet muda, karena Dewi Lorojonggrang pernah mandi di sendang ini.

Pohon asem dan Sendang Depok ini dikeramatkan oleh masyarakat setempat, terletak di dusun Kebonagung, desa Karangjati, Wonosegoro, Boyolali. Di dusun inilah tempat ibuku dilahirkan, demikian juga aku. Dari dulu, setiap pagi dan sore banyak ayam alas yang bertengger di dahan-dahan pohon asem Depok ini, dan disekitar sendang banyak sapi dan kerbau yang berkeliaran tanpa ada penggembalanya, entah siapa yang punya. Ibuku bilang, binatang-binatang itu “piaraan” Mbah Depok. Warga setempat pun tak ada yang berani macam-macam, apalagi mengusik, “piaraan-piaraan” Mbah Depok itu. Soalnya, pernah ada suatu cerita, yang aku sendiri belum meyakini kebenarannya. Dulu pernah kejadian ada orang yang menangkap ayam alas di situ, sore harinya langsung meriang dan kejang-kejang. Pagi harinya meninggal. Kemudian ada lagi seorang anak, waktu itu sedang menggembala kambing di sekitar Asem Depok. Ehh, konon katanya hilang dan tak pernah pulang sekaligus dengan kambing-kambingnya. Dan masih banyak lagi cerita dari orang-orang tentang kejadian seperti demikian yang tidak bisa disebutkan di sini sekarang satu per satu.

Entah kenapa pohon asem ini dinamakan Mbah Depok, belum pernah ada yang tahu pasti. Sering aku coba mencari tahu, tetapi tidak pernah temukan jawaban yang memuaskan. Bahkan, ada yang melarang untuk menyebut-nyebut nama itu, karena bisa bikin amsyong. Aku sendiri masih penasaran sampai sekarang. Ya, mudah-mudahan saja, seiring berjalannya waktu, segera dapat kutemukan jawaban yang memuaskan rasa keingintahuanku itu.

Dulu, tidak ada yang berani bertempat tinggal di dekat pohon itu, tapi sekarang sudah lumayan ada beberapa. Meski masih agak sedikit jauh, dan tentu saja tanpa mengusik pohon asem itu sendiri. Ayam alas, sapi liar dan kerbau liar sekarang juga sukar ditemukan di sekitar Asem Depok, entah pada pergi ke mana mereka semua. Air sendang pun kadang berisi air dan kadang juga kering, padahal dulu selalu terisi penuh dan jernih.

Seandainya saja tidak teringat akan hal yang tak mengenakkan, tentunya hal ini mungkin kurang perlu untuk aku ceritakan. Waktu itu sedang liburan semester. Aku sendiri baru menempuh tahun pertama kuliah. Dari kecil, saat libur sekolah tiba, memang aku terbiasa berlibur di kampung halaman bapak dan ibuku. Pagi hari, aku dan abangku bermaksud mengunjungi dusun tetangga, dengan berjalan kaki. Kebetulan abangku sendiri waktu itu sedang cuti dari pekerjaannya. Dusun yang akan kami kunjungi itu bernama Krangkeng, Desa Karangjati dan masih satu kecamatan, Wonosegoro. Krangkeng sendiri merupakan dusun tempat kelahiran bapakku. Kebetulan jalur tercepat adalah lewat Asem Depok, dan jalur ini sudah biasa aku lewati sejak aku dan abangku masih kecil, jalur yang melintasi areal persawahan dan ladang yang dulunya sebagian besar milik simbahku,  sekarang sudah jadi miliknya banyak orang.

Nah, tepat pada saat kami melintas di depan pohon angker ini, tiba-tiba muncul pikiran usilku, dan sepertinya sama sekali tidak ada rasa takut dalam diriku, padahal dulu mendengar namanya saja merinding. Sebenarnya waktu itu aku cuma bilang sambil berteriak, “Mbah, aku lewat, Mbah... putumu lewat, Mbah... tinggal sik yo, Mbah... Daa... Da Daaa...!!!” Cuma itu yang aku ucapkan, dan kakakku juga terkejut saat melihat aku berkelakuan seperti itu, tapi dia cuma bilang “Huusssy...!!!” Tapi aku tak mempedulikannya. Malah aku menambahkan, “Asli mbah, putumu lewat... putu asli, daaa...!!!” Habis itu, kita berdua malah tertawa cekikikan. Mungkin abangku merasa geli juga dengan kekonyolanku.

Jadi, kira-kira apa hasil yang kupetik dari perbuatanku itu? Sebenarnya kurang masuk di akal, tapi betul-betul kejadian. Kami sampai di dusun tujuan saat maghrib tiba. Padahal semestinya kami bisa sampai dalam waktu 45 menit, selambat-lambatnya 1 jam. Kami kesasar di jalan yang sudah biasa kami tempuh sejak kecil. Tersesat sampai di pemukiman paling pelosok, dan warganya yang kami tanya arah menuju desa tujuan kami turut terheran-heran pula. Bahkan kami sendiri tak sempat untuk mengingat nama-nama pemukiman itu. Andai saja terpikir untuk mengingatnya, tentunya bisa di-maping, dibuat rute perjalanan, dan bisa dihitung jarak tempuh. Wah, aku yakin pasti jalan yang kami tempuh itu sangatlah jauh. Belum lagi ditambah dengan bolak-baliknya. Bayangkan saja, sehari penuh berjalan.

Demikianlah, sampai maghrib kami sampai ke desa tujuan cuma dari bertanya-tanya pada setiap orang yang kami temui. Setiap bertanya, mereka bilang selalu salah arah. Bertanya lagi salah arah lagi, dan seterusnya. Bahkan, untuk kembali ke tempat semula saja, demi sekedar menentukan checkpoint aja susahnya ‘audubillah.

Lama-lama kami pun bosan bertanya-tanya. Malu juga terus-terusan bertanya. Ini bukan persoalan malu bertanya bakalan sesat di jalan, terlebih dalam kondisi yang sudah tersesat. Tetapi malunya setiap kali bertanya, selalu orang-orang yang kami tanyai balik bertanya demikian, “Kala wau saking pundi, Mas? Badhe tindak pundi?” (Tadi dari mana, Mas? Mau pergi ke mana?). Dan tentu saja kami pun menjawab, “Saking Kebonagung, badhe dateng Krangkeng” (Dari Kebonagung mau ke Krangkeng). Ya itu, yang bikin kami malu. Masa sich, dari Kebonagung ke Krangkeng saja harus kesasar sampai ke tempat-tempat yang paling nderik begitu. Lebih malunya lagi orang-orang yang kami tanyai itu pada tersenyum-senyum, dan ada yang ketawa sampai ngakak. Kesasar kok di rumah sendiri. Urusan “dari” dan “ke” inilah yang seolah membuat kami malu dan bodoh di hadapan orang-orang yang kami tanyai. Jadi, aku dan abangku akhirnya bersepakat, apapun yang terjadi kami tidak akan bertanya-tanya lagi.

Tapi kesepakatan kami untuk tidak akan bertanya ternyata juga menuai banyak kendala. Rupanya kami melupakan tradisi ndeso. Di mana-mana, orang ndeso itu kalau bertemu dengan sesama manusia selalu melakukan 3 S (senyum, salam, sapa). Jadi, tidak bertanya sekalipun, kami akan disapa, dan kami pun akan ditanya. Dan mau tak mau, suka tak suka, akhirnya hal yang memalukan “dari” dan “ke” itu keluar juga. Betul-betul, sulit dibayangkan rasanya. Betul-betul tersiksa. Haus, lapar, letih dan... malu. Malu sekali rasanya. Seolah mati segan, hidup pun tak mau.

Singkat cerita. Tentunya dengan bantuan orang-orang yang kami temui di sepanjang perjalanan, tibalah kami di Krangkeng. Badan kami terasa lemas, pegal-pegal dan kepala pusing, setelah berjalan dari pagi sampai maghrib. Baru setelah beristirahat baru kami berpikir kejadian apa yang telah menimpa kami, yang semestinya secara nalar tidak perlu terjadi. Sedangkan dari hasil perbuatan kami ini, ternyata juga membuat panik keluarga kami, karena kami disangka hilang. Dan seandainya habis isya’ kami belum datang, akan dilaporkan pada polisi dan warga setempat akan melakukan pencarian.

Begitu kami bercerita tentang kejadian yang baru saja kami alami, kebanyakan orang-orang mengatakan, “Kalian sudah bikin Mbah Depok marah...!!!” Dan kami pun tak kuasa untuk menyangkalnya. *****

Rabu, 09 Maret 2011

Pandangan Pertama


Waktu itu hari terakhir di bulan November, biasanya pada sore hari hujan banyak turun di bulan itu, dan bumi dengan segala yang ada di atasnya bagaikan hamparan permadani sutera dengan dihiasi berbagai warna-warni bunga. Sisa-sisa rintik hujan di atas dedaunan sungguh elok bagaikan mutiara yang bertaburan di atas zamrud yang hijau dan terpancar megah. Sungguh indahnya mentari yang matahari yang turut memancarkan sinarnya, diikuti nyanyian burung-burung yang saling bersahutan di atas dahan.

Pagi itu Abdullah bermaksud pergi ke kota, dia berangkat dari rumahnya di Ranca Nasar yang letaknya agak jauh dari Garut. Segarnya udara pagi itu, dengan panas sinar matahari yang tidak terlalu menyengat, membuat Abdullah berpikir untuk melakukan perjalanannya dengan berjalan kaki sambi menikmati indahnya pemandangan di sepanjang jalan.

Ketika sudah setengah perjalanan, saat menikmati indahnya pemandangan di tepi jalan dekat desa Tarogong, Abdullah melihat tiga orang keluar dari ladang, seorang pria, seorang wanita dan seorang gadis berusia sekitar 15 tahun. Abdullah berpikir, mungkin dia akan mendapat teman di perjalanan jika ia bercakap-cakap dengan pria yang baru keluar dari ladang tersebut. Oleh karena itu, setelah memberi salam, Abdullah bertanya-tanya tentang adat kebiasaan di daerah itu. Abdullah telah menguasai dengan sangat baik bahasa Sunda, meskipun ia belum cukup lama tinggal di daerah Sunda, oleh karena itu ia bercakap-cakap dengan orang itu menggunakan bahasa Sunda. Pria itu bertanya kepada Abdullah, “Hendak ke mana, Tuan?”

“Ke Garut,” jawab Abdullah.

“Kebetulan kami juga akan ke Garut,” kata pria itu lagi. Kemudian mereka berdua terus bercakap-cakap, sesekali wanita itu juga turut bercakap-cakap dengan mereka, sedang si Gadis hanya diam saja. Sempat Abdullah menoleh ke arah gadis yang bersama mereka, belum pernah ia melihat seorang gadis di Garut dan di tempat-tempat lain di Jawa yang memiliki kecantikan dan kelembutan seperti yang dimiliki gadis itu. Diam-diam Abdullah kagum kepadanya. Si gadis tertunduk malu ketika melihat Abdullah memperhatikannya. Lalu Abdullah kembali berbincang-bincang dengan pria dan wanita itu, ia menanyakan namanya. “Saya Rusna,” jawabnya. Kemudian menunjuk wanita yang bersamanya, “Namanya Minah, istri saya.” Dia kemudian terdiam.

Lama Abdullah menunggu pria itu mengatakan nama si gadis itu, barangkali anaknya. Tapi karena Abdullah lihat pria itu diam saja, maka dia pun bertanya, “Apakah ini anak Bapak?” Setelah terdiam sejenak, pria itu berkata, “Betul, dia anakku, kami memanggilnya Neng.” Si gadis mendekati ibunya begitu mendengar namanya disebut dan membisikkan sesuatu ke telinganya. Si ibu itu malah membentaknya tanpa mempedulikan apa yang membuat anaknya gembira, dan sepertinya dia tidak mengerti apa yang dikatakan oleh anaknya. Gadis itu kemudia memandang Abdullah dengan pandangan yang tak diketahui orang lain, terkecuali Abdullah. Kemudian gadis itu tertunduk lagi. Abdullah tahu betul pandangan yang mencuri-curi itu, yang jika dijelaskan tentunya akan menghabiskan banyak waktu. Memang tidak semua hal bisa diungkapkan dengan kata-kata, dihitung dengan jari, dilukiskan dengan kuas, ditulis dengan pena, hanya hati yang bisa mengetahui dan mata yang mengungkapnya. Cuma dari yang Abdullah pikirkan, gadis itu tinggal bersama kedua orang tuanya yang sedang dalam kesulitan hidup dan cukup menderita dengan segala perlakuan kasar dari orang tuanya.

Ia ingin bercakap-cakap dengan gadis itu dengan perkataan yang akan membuatnya senang, tetapi tidak menjadikan orang tuanya cemas. Ia pun bertanya kepada gadis itu dengan bahasa Sunda, “Kenapa kamu tidak turut bercakap-cakap bersama kami, Neng?” Begitu Neng mendengar namanya disebut dan percakapan itu ditujukan padanya, dia cuma tersenyum kemudian menunduk lagi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Berkatalah Abdullah kepada Rusna, “Mungkin rasa malunya kepada saya dan rasa takutnya kepada Bapak membuatnya enggan berbicara, jadi saya mohon ijinkanlah Neng untuk turut bercakap-cakap dengan kita, Pak.” Sejurus kemudian Rusna berkata kepadanya, “Sebenarnya bukan begitu Tuan, bukan seperti yang disangka oleh Tuan, cuma dia tidak mengerti apa yang Tuan bicarakan,”

“Aneh, sungguh aneh! Bagaimana mungkin dia tak mengerti, padahal saya berkata padanya dengan bahasa Sunda, bahasanya sendiri, dan tentunya bahasa yang dia mengerti,” kata Abdullah.
“Tuan menyangka Neng mengerti bahasa Sunda, padahal dia baru saja tinggal di daerah sini,”
“Apakah dia berbicaranya dengan bahasa Melayu?” tanya Abdullah.
“Tidak Tuan, dia tidak mengerti bahasa Melayu, Madura atau pun bahasa Jawa,” jawab si bapak.
“Lantas, dengan bahasa apa dia berbicara?” tanya Abdullah kembali.
“Dia cuma mengerti bahasa Arab, itu pun sesuai dengan keinginannya, Tuan. Kemarin kami telah pergi ke sekolah putri berasrama agar dia bisa belajar bahasa Sunda, tapi Kepala Sekolah menolaknya, karena sekolah itu mengajar dengan bahasa Sunda sebagai pengantarnya, sedang dia tidak memahaminya.”

Terkejut Abdullah begitu mendengar bahwa gadis itu hanya bicara dengan bahasa Arab. Tiba-tiba dia berhenti dan Rusna beserta istrinya turut berhenti. Abdullah bertanya kepada Neng dengan bahasa Arab, “ Apa benar Neng apa yang dikatakan bapakmu bahwa kamu hanya mengerti berbicara dengan bahasa Arab?” Neng menjawab dengan tersipu-sipu, tampak rona merah di kedua pipinya, “Benar Tuan, kurang lebih baru seminggu saya tinggal di sini, saya tidak mengerti berbicara dengan kedua orang tua saya ini kecuali dengan bahasa isyarat. Beberapa haji yang tahu beberapa bahasa Arab yang pendek terkadang mengunjungi kami. Bicara mereka dengan saya menggunakan bahasa yang mereka pahami itu, itulah saat-saat saya agak merasa senang.” Neng mengucapkan dengan bahasa Arab yang fasih, tutur katanya terdengar sangat merdu di telinga Abdullah.

Belum selesai Neng berbicara, Abdullah melihat air mata meleleh di kedua pipi Neng yang dilihatnya tadi merah merona. Abdullah bertambah heran dan terkejut. Kepada Rusna ia ingin meminta penjelasan tentang permasalahan yang dihadapi anak gadisnya dan ingin ditanyakannya pula di mana ia tinggal sebelumnya. namun, di luar dugaan Rusna mengatakan, “Mohon maaf Tuan, sepertinya kami telah sampai di tempat yang kami tuju, kami akan mampir ke tempat kerabat di desa ini,” katanya sambil menunjuk desa Lebah Daun. Abdullah menjadi bingung, namun tak dapat menjawab apa-apa. Lalu mereka berdua bersalaman sebagaiamana kebiasaan tradisi di daerah itu. Rusna dan keluarga pun menuju ke desa itu. Neng tahu betul maksud bapaknya memotong pembicaraannya. Menoleh dia kepada Abdullah dengan pandangan yang jauh menembus hatinya yang paling dalam. Ditinggalkannnya Abdullah dengan keadaan hati yang tercuri tanpa pegangan.

Note: Disunting dari Novel Gadis Garut, karya Ben Sohib.

SKRIPSI CINTA


Naif, sungguh naif bila berkata tanpa bukti, berbicara tanpa fakta. Pernah aku baca sebuah buku yang aku sendiri lupa judul dan penulisnya, bahwa yang dikatakan orang tentang kita itulah kita. Seorang sahabat bisa dikenal melalui lidah sahabat-sahabatnya juga. Maka datanglah ke kotaku, dan carilah orang yang bernama Naufal putra kyai Haji Ahmad, dukuh Seruni, dan tanyakan sendiri siapa Naufal adanya?

Seseorang pun akan berkata, “Dia putra terbaik dari orang tua yang baik,” Yang lain akan menambahkan, “Dia pernah menjadi pelajar yang berperingkat pertama di semua tingkatan pendidikannya,” Sedang yang lain lagi akan menyahut, “Seorang pemuda yang sukses, beruntung dari keluarga beruntung dan berada!”

Naufal, itulah namaku. Sekarang usiaku duapuluh lima tahun. Abahku yang seorang kyai, menjadikanku lahir dalam pintalan benang-benang agama. Bila pesantren itu sajadah, di atas sajadah itulah aku tumbuh dan dibesarkan. Abahku pengasuh sekaligus pemilik pesantren. Aku pun lahir dari rahim Ummi. Tasbih, tahmid, takbir, bacaan Al-Quran, shalat, puasa, ibadah-ibadah lain dan amalan-amalan sudah cukup aku kenal sejak lahir. Sudah akrab dengan itu semua sejak diayun-ayun oleh Ummi.

Pesantren Abah bukan pesantren tradisional, yang memberlakukan ajaran agama dengan begitu keras dan ketatnya. Cara berpikir Abah telah keluar dari batas-batas konvensional pesantren. Kata Abah belajar ilmu agama itu wajib dan penting, tetapi belajar untuk meraih kesuksesan hidup di dunia juga penting. Prinsip inilah yang Abah tanamkan dalam benakku. Hingga aku dibesarkan dengan ilmu-ilmu agama, tetapi juga berkembang dalam ilmu-ilmu dunia. Aku pun menjadi putra kyai yang bergelar Sarjana Ekonomi. Tahun depan, sudah menunggu perusahaan di mana aku akan bekerja di bagian Quality Control akan memberikan beasiswa untuk meneruskan kuliah S2 di jurusan Magister Management.

Naufal, itulah aku. Sepertinya tidak ada dalam masa laluku yang mengenal duka. Abahku begitu dihormati, dan aromanya memberkatiku pula. Di rumah dan pesantren sebutanku adalah Gus Naufal. Yang tidak hanya cakap soal agama, tapi juga sukses dalam pendidikan, pergaulan dan karir. Hanya aku ingat benar ketika duduk di bangku SMP kelas 2, peringkatku pernah melorot ke nomor 2, namun itu hanya satu semester. Lain dari itu, sejak SD hingga SMA, aku selalu peringkat pertama, dan lulus dari perguruan tinggi negeri dengan predikat cumlaude. Perusahaan-perusahaan bonafit telah menungguku, hingga begitu mudah untuk memilih satu di antaranya.

Perusahaan yang kupilih adalah perusahaan di kotaku. Perusahaan yang mengekspor produk khas kotaku; carica, kacang dan jamur Dieng. Sebenarnya ada empat alasan kenapa aku memilih perusahaan itu. Pertama, karena aku mencintai kota ini. Kedua, kebahagiaanku akan berlebih ketika dekat dengan rumah dan orang tua. Ketiga, perusahaan itu menawarkan jabatan yang sesuai dengan akademisku. Dan keempat, karena gadis yang kudamba sejak zaman kuliah ada di kota ini, dan di kota ini pula cintaku bersemi.

Naura.....
Namanya Naura!!!
Naufal dan Naura.....

Suhanallah, tak hentinya aku mengucap kesucian Tuhanku, bila kuingat kisah cintaku, syukurlah tidak pernah mengering. Mendapatkan Naura adalah puncak kebahagiaan yang pernah kuraih. Dengan memilikinya adalah anugerah terindah dari Tuhan Yang Maha Esa.

Sebagai bunga kampus, dia telah begitu banyak menjeritkan kepedihan pada banyak mahasiswa. Bagaimana pula aku akan menggmbarkan sosoknya? Wajahnya? Tubuhnya? Sudah tentu indahnya pemandangan kampus akan cidera bila tidak ada dia di kampusku. Kefokusan pada studi dan organisasi memang menjadikan sosok Naura tidak begitu berpengaruh padaku, akan tetapi apabila mendengar teman-teman seringkali membincangkannya, aku pun mulai tergoda untuk mengenalnya.

Untuk melihatnya.
Untuk mendekatinya.
Senyumnya.....

Senyum Naura, pertama kali aku melihatnya, tatkala dia tengah berbincang bersama teman-temannya di sudut kampus, di pojok perpus. Sering aku melihat senyum gadis, tapi yang ini tampak lain, jantungku berdegup kencang dan hatiku mendesir-desir, begitu melihat senyumannya. Tanpa pernah kuduga sebelumnya, ternyata aku menyukai senyumannya. Dan tanpa kusadari pula, sungguh sulit dimengerti, aku pun jatuh cinta. Jatuh cinta pada senyum Naura, sang bunga kampus.

Ya Allah... apakah benar aku jatuh cinta?!

“Bukan kau saja yang mencintainya,” kata Ilham suatu ketika, teman satu angkatan namun beda jurusan denganku. “Terlalu banyak mahasiwa di sini yang mencintainya. Berat, sob!”

Aku sudah cukup lama terlatih menjadi yang terbaik, maka dengan cara yang sama aku berjanji, aku akan menjadi yang terbaik dari yang baik-baik dalam mendekati Naura. Aku pun mencari tahu yang berkaitan dengannya, dan betapa senangnya ketika mengetahui, ternyata dia berasal dari kota yang sama denganku. Bagiku ini adalah nilai plus, dibandingkan dengan saingan-sainganku yang lain. Keluarganya juga kaya, tapi bagiku kaya atau miskin, aku tetap jatuh cinta padanya.

Aku akan mendekatinya.
Aku akan mendapatkannya.
Cinta Naura.

Untuk memburu Naura, aku berburu buku-buku tentang cinta, demi mengetahui cara mencintai dan dicintai seseorang. Di Jogja, buku adalah rumahnya. Kupikir, tanpa kesulitan aku akan dapatkan buku-buku yang aku cari. Kususuri kawasan Malioboro, aku tahu di sana dijual buku dengan harga murah, dibandingkan dengan, misalnya harus daang ke Gramedia. Di rak-rak buku kulihat-lihat banyak bertumpukan buku-buku dengan berbagai jenis dan judul. Bingung aku memilihnya, kutanyakan saja buku-buku tentang cinta.

“Judulnya apa, Mas?”
“Yang penting tentang cinta,” jawabku.
“Babyak buku tentang cinta, apa mau diborong semua?” mbak-mbak berwajah Sunda penjaga toko sibuk mencarikan bukunya untukku. Tetapi pandangan mataku tertuju pada buku karangan Abul Faral al-Jauzi yang berjudul Ibnul jauzi Bertutur Tentang Cinta. Nah, ini dia buku yang sepertinya kucari-cari. Ini akan kubeli, juga yang lainnya.
“Coba yang itu, Mbak,” pintaku sambil menunjuk tumpukan yang tempatnya agak di atas.

Mbak-mbak berwajah Sunda itu mengambil buku yang kutunjukkan.

Kemudian aku menunjuk yang satunya lagi. Kudapati sekarang ada dua buku di tanganku, masing-masing karya Paul Hauck yang berjudul Bagaimana Mencintai dan Agar Dicintai. Satunya lagi berjudul Ta’aruf Cinta: Agar Dicintai, Dihormati, dan Berkharisma karangan Muhammad bin ‘Ismail al-Umrani.
“Tiga ini saya beli, Mbak.”
“Yang lain masih banyak loh,” katanya.
“Sudah ini aja dulu, Mbak.” Aku tersenyum.

Hatiku mengajakku untuk segera berlari kencang pulang ke kost-an, untuk segera melahap ketiga buku yang baru saja kubeli itu. Tetapi aku belum puas, aku mampir ke warnet. Kupikir internet tentu menawarkan lebih banyak tulisan tentang cinta. Aku googling tulisan-tulisan tentang cinta. Kudapat banyak.

Puas.

Ku-print artikel-artikel yang telah ditunjukkan ole Google yang maha tahu.
Kemudian aku pulang dengan hati yang berbunga-bunga.

***

Namanya Bowo. Aku hanya akan mendesah kuat jika mengingat nama dan wajahnya. Di antara saingan-sainganku yang mendekati Naura, dialah yang paling kutakuti dan aku cemburui. Kepribadiannya menyenangkan, alias macho. Menarik dan tahu cara memikat, sepertinya berasal dari kalangan high class. Para gadis mendekatinya, justru pada saat dia mendekati Naura.

“Apa iya sih, aku harus kalah sama Bowo?”
“Ahh, tentu tidak!”

Pikiranku menemukan cara bagaimana mendapatkan perhatian Naura dari cara-cara yang diperlihatkan Bowo dalam mendekatinya. Aku sendiri mengenal Bowo. Bahkan mengenalnya dengan baik, satu fakultas, satu jurusan. IP-nya berselisih sedikit dengan IP-ku, tentu saja dia yang di bawahku. Dia tidak tahu bahwa aku juga tertarik pada Naura. Sering kali cemburuku menjadi kebencian pada Bowo ketika kudapati dia lama mengobrol dengan Naura. Sedang sampai pada detik ini saja hanya senyuman saja yang Naura berikan padaku. Hmm. Senyuman maut yang bisa mengguncangkan jantung dan meledakkan dadaku.

Suatu ketika seorang teman memberitahuku bahwa Bowo mengajak makan siang Naura di Cafe Fresh, jam 13.00. Dag, Dig, Dug! Jantungku rasanya mau copot dan keluar dari tempatnya, ketika kulihat waktu telah menunjuk angka 12.00. Bayangan yang tidak-tidak tentang Bowo dan Naura menari-nari dalam pikiranku.

Duh, apa yang harus kuperbuat?!

Kuingat-ingat lagi semua jurus-jurus yang kupelajari dari buku, makalah dan artikel tentang cinta. Hingga pada satu kesimpulan, bahwa tidak ada satu ilmu yang manjur untuk mendekati setiap wanita. Semua ilmu cinta yang semacam ini adalah ilmu yang relatif. Umumnya, siapapun dia – entah laki, entah perempuan – cenderung menyukai orang yang periang, gaul, bisa diajak bercanda, bisa menempatkan diri, menghormati sesama, menyukai keindahan, baik hati dan tidak sombong. Hadohhh!!! Kalau seperti ini semua orang juga suka, sudah umum. Aku harus memiliki kekhususan dan kekhasan tertentu, hingga Naura lebih banyak melihat ke arahku dan mendengar perkataan-perkataanku, dan memalingkan wajahnya untuk mengagumi bowo dan rayuan-rayuannya.

Aku tahu sekarang.
Aku harus tampil beda.
Di depan Naura.

Aku berencana pergi ke Cafe Fresh, membuyarkan kencan mereka dengan kedatanganku, merebut perhatian Naura hari ini.

Iya, hari ini, atau tidak sama sekali!!!
Dan kau, Bowo...!!!
Tunggu kedatanganku di cafe.

Naura sekarang bukanlah kekasihmu, bukan pula kekasihku, bukan kekasih siapa pun. Bukan kezaliman seandainya aku tertarik kepadanya sebagaimana dirimu. Saksikanlah, bahwa aku akan bersaing dengan kecerdasan, bukan dengan tipu muslihat dan provokasi, jegal-menjegal dan sikut-sikutan seperti politisi.

***

Cafe Fresh

Pukul 13.10 WIB

Angin melambai-lambaikan daun-daun palem di sudut kiri cafe. Tampak sepi cafe ini, biasanya halaman parkir penuh sesak dengan mobil dan motor kendaraan pengunjung. Kulihat mobil Bowo, sebuah sedan berwarna biru. Jantungku berdetak cepat, seperti mau copot dari tempatnya. Pastilah Bowo sudah berada di dalam bersama Naura. Sedang makan bersama, atau sedang bercanda. Aku segera turun dari mobilku, melangkah memasuki cafe. Aku harus pasang kuda-kuda untuk berpura-pura mencari Bowo dan Naura, hingga mataku pun tertuju pada satu meja di pojok kiri dekat jendela. Aku benar-benar tidak berani menoleh ke kiri atau ke kanan, aku berjalan dengan mata lurus menuju meja tersebut. Cemas, hatiku cemas memikirkan Bowo dan Naura.

Aduh...

Di mana kira-kira mereka duduk?

“Mau pesan apa, Mas?” tanya seorang pelayan mengagetkanku. Dia tersenyum, kemudian menyerahkan daftar menu.
Saat yang tepat untuk menarik perhatian Bowo dan Naura yang tempat duduknya entah dimana.
“Ini aja, Mbak. Bawal bakar asam manis...” kataku sambil mengeraskan suara, agar didengar Bowo dan Naura.
“Minumnya?”
“Orange juice.”
“Pakai lalapan?”
“Iya, masa cuma bawal?” sambil lebih mengeraskan suara.

Pelayan itu tersenyum, kemudian mundur dan berbalik ke belakang.

Tinggal aku sekarang menenangkan batinku. Pikiranku terkonsentrasi pada Bowo. Akan kuikuti pembicaraannya, kemudian membelokkan arah pembicaraan itu padaku. Tiba-tiba Hp-ku berdering, kuangkat dan kukeraskan suaraku lagi.

“Assalamu’alaikum, hallo...”
Di seberang menjawab, “wa’alaikum salam...”
“Abah...?” kudengar suara abah yang menelepon. “Ada apa Bah, tumben menelepon?”
“Kapan pulang?”
“Memang ada apa, Bah?”
“Kalau kamu pulang, hubungi segera Pak Irman. Baru saja dia datang ke rumah.”
“Pak Irman siapa, Bah?”
“Dari perusahaan jamur, masa kamu lupa?”
“Untuk apa beliau mencariku?”
“Pak Irman minta kamu kerja di perusahaannya. Katanya sudah kirim surat ke kampus kuga dan ninggalin nomor telepon. Sudah kau hubungi?”
“Belum, Bah. Skripsiku belum jadi. Ya, Insya Allah minggu depan...”

Belum selesai pembicaraanku dengan Abah, Bowo sudah berdiri di sampingku, tersenyum padaku. Entah kapan datangnya.

“Hi...,” Bowo menyapaku.
“Maaf, sebentar...,” ucapku pada Bowo sambil membalas senyumannya. Aku lanjutkan pembicaraanku dengan Abah, “Baiklah, Bah. Begitu pulang nanti aku segera temui Pak Irman.”
“Kalau bisa segera pulang. Assalamu’alaikum...”
“Insya Allah, Bah. Wa’alaikum salam...”

Kututup HP-ku. Kutaruh di atas meja. Menoleh ke arah Bowo yang masih berdiri di sampingku. Sambil pura-pura kaget aku tersenyum padanya.

“Disuruh pulang?” tanya Bowo.
“Iya. Ehh, kamu sendirian aja?” tanyaku pura-pura tidak tahu.
“Ah, enggak...,” Bowo lantas berbisik ke telingaku dan menyebut sebuah nama: Naura. Kutelan ludahku sendiri.
“Mana dia?” tanyaku
“Itu... di situ...meja no.5,”

Aku menoleh ke arah telunjuk Bowo. Kudapati juga Naura.  Kulihat dia tampak sedang memegang buku, entah buku apa.

“Pacar barumu ya?” godaku.
“Ahh, lagi tahap PDKT,” jawabnya.
“Kukira sudah jadian,”
“Halahhh... ha ha ha, ayo tak kenalin,” ajaknya.

Akupun berdiri, berjalan mengiringi Bowo, menuju meja No.5.

“Na, kenalin...” ucap Bowo sesampainya dei dekat Naura.
Naura mendongakkan kepala. Memandang ke arah Bowo, lalu ke arahku. Tersenyum aku padanya. Tersenyum dengan sepenuh-penuhnya dan setulus-tulusnya.

Naura mengulurkan tangan.

Sejenak aku kebingungan. Tidak mungkin aku sambut uluran jabat tangannya. Didikanku untuk tidak menyentuh seorang gadis, meski jabatan tangan sekalipun, terlebih aku memiliki hasrat cinta padanya. Semoga dia tak tersinggung bila tak kusambut uluran tangannya?!

“Naufal...” tanpa menyambut uluran tangannya. Aku mencintaimu, tetapi aku juga mencintai agamaku.
“Naura...” dia agak canggung, dan aku memahaminya.
“Dia berasal satu kota denganmu,” Bowo menambahkan.

Ucapan Bowo seperti menghidupkan suasana, setelah sekian menit terjadi kekakuan.

Naura menatapku.

“Wonosobo?” tanyanya.
“Iya, Wonosob,” jawabku.
“Tahu nggak? Dia putra K.H. Ahmad,” lagi-lagi Bowo menambahkan.

Semakin dalam Naura menatapku. Ucapan Bowo memberikanku pintu masuk untuk berbincang dengan Naura.

“Jadi... mas putra K.H. Ahmad?”
“Memang tahu?” tanyaku, menguji sambil mengulas senyum.
“Ahh, siapa sih yang tak kenal beliau...”
“Begitu?” nama Abah turut berkontribusi. “Omong-omong kuliah di mana?” lanjutku.
“UGM”
“Lho, kok sama” batinku tertawa. Inilah aksioma, tentang sesuatu yang jawabannya telah aku mengerti. “Jadi kita satu kampus dong...”
“Memang mas di UGM juga?”
Aku tak langsung menjawab, dan mengarahkan agar Bowo menjawab pertanyaannya, “Sekelas sama Bowo,” kataku kemudian.
“Bowo IP-nya the best...” kuangkat prestasi Bowo.
Sambut Bowo sambil tersenyum, “Best gimana, kamu kan yang best?” Lalu katanya kepada Naura, “Dia juara terus, Na. IP-ku selalu di bawahnya,”
“Ahh, cuma selisih sedikit kan, sob,” kataku. “Tetap saja banyak hal lain yang tak bisa kulampaui darimu.”
“Kau selalu merendah, Fa.”

Target pertamaku telah tercapai: menunjukkan pada Naura bahwa IP-ku lebih baik dari IP Bowo.

Nafasku terasa sesak begitu melihat Bowo duduk di sebelah Naura, sepertinya badannya sengaja didekat-dekatkannya, seakan ingin menunjukkan padaku, Naura kekasihnya! Sedangkan aku duduk di hadapan mereka.

“Naura ambil fakultas apa?” tanyaku.
“Sastra Indonesia.”
“wahhh...”
“Mas sering pulang?”
“Hampir sebulan sekali. Kamu gimana?”
“Sama.”
“Putra kyai, hebat ya?”
“Ahh, yang hebat bapaknya, masa anaknya,” jawabku. “Wonosobonya mana?”
“Garung, depan tol, ke kanan, masuk sedikit...”
Agar Bowo tak jadi penonton bulu tangkis karena percakapanku dengan Naura, aku pun berkata kepadanya, “Garung itu lebih dingin dari Seruni, tempatku, Wo. Arah ke Dieng. Kamu diajak main ke rumah gak pernah mau, kenapa? Kapan kira-kira mau ke rumah? Nanti aku ajakin ke Dieng, nanti Naura kita ajak...”
“Apaan sih?” kata Naura.

Aku pun mencoba untuk tersenyum. Menutupi batinku yang pahit getir dan dongkol, seperti habis minum jamu tanpa penawar.

“Ya udah, kapan-kapan saja kalau Naura membolehkan...”

Demi Allah, aku cemas. Kalau Naura mau bisa-bisa malah amburadul, berabe...!!!

“Boleh gak, Na?” tanya Bowo.
“Kapan-kapan aja ya,” jawab Naura.

Alhamdulillah, ya Allah, kecemasanku pun sedikit berkurang.

“Kapan-kapan...?!” desah Bowo, “Dari dulu selalu kapan-kapan...”
Aha, hatiku berseru. Rupa-rupanya masih tahap pendekatan seperti ini pendekatan Bowo pada Naura. Sudah dipastikan kalau mereka juga masih jauh dari jadian. Kusimpulkan sendiri kalau aku masih berpeluang untuk merebut perhatian Naura dari Bowo. Mataku tertuju pada buku yang dipegang Naura. Dia perlihatkan padaku. Ternyata sebuah novel. Cukup tebal, lumayan tebal. Dan kebetulan aku sudah membacanya. Sekali lagi alam berpihak padaku.

“Kisah memukau tentang benturan dua peradaban!” aku berseru tanpa sedikitpun menyentuh buku yang masih dipegang Naura.
Beralih aku pada Bowo, “Udah baca novel ini, Wo?”
“Baca diktat aja susah saingin kamu, gimana mau ditambah baca novel, Fa?”

Sebenarnya aku sudah tahu kalau Bowo memang tidak suka baca, kutu buku-nya hanya pada tingkatan diktat-diktat kuliah saja. Maka kukatakan padanya tentang novel yang dipegang Naura, “Judul aslinya Benin Adim Kirmizi. Novel ini lebih mengukuhkan nama Orhan Pamuk – seorang Turki – sebagai salah satu novelis dunia saat ini. Dengan cemerlang dia menggabungkan teka-teki misteri, kisah cinta dan renungan filsafat dengan latar kekuasaan Sultan Murat III di Kesultanan Utsmaniyah...”

Aku berhenti sebentar. Melihat reaksi Naura dan Bowo...

Tampak dengan jelas wajah Naura bercahaya. Sinar cahaya itu seperti menubruk hatiku, dan beberapa saat mampu membuat bibirku terkatup.

Sedang Bowo, dia nampak mulai resah dan gelisah. Mungkin dia tidak suka pembicaraanku, atau novel itu. Atau barangkali dia tak suka aku duduk di depan mereka.

“Jadi mas sudah selesai membaca novel ini?” Naura bertanya.
Aku mengangguk. “Aku punya edisi Inggrisnya: My Name is Red...”
“Novel ini yang hendak diskripsikan Naura, Fa...” Bowo menyela.
“Wow...,” meluncur begitu saja dari bibirku, sebagai luapan rasa kagum dan harapan yang membentang. 

Akupun berpikir agar Naura lebih tertarik lagi tanpa harus membuat Bowo resah.

Seorang pelayan mendekatiku dan mengatakan dengan ramah bahwa menu yang aku pesan telah siap di mejaku.

Aku mengangguk, “Terima kasih, Mbak.” Pelayan itu tersenyum dan kembali ke tempatnya.

Hadoohhh, gimana ini? Padahal aku masih ingin melakukan pendekatan pada Naura. Yang ini masih terlalu sederhana, belum apa-apa.

Aku segera berdiri. Bagaimanapun juga aku harus kembali ke mejaku. Kepada Naura harus aku berikan kesan yang cerdas.

“Memang diperlukan membaca novel ini 2-3 kali, Insya Allah, akan kamu dapatkan nilai keindahannya, kecerdasan pengarangnya, dan betapa hebatnya isi nilai novel ini. OK, goodluck, Na.  Jika mau aku bisa pinjami versi Inggrisnya, gimana?”

“Mau, mau, tentu saja aku mau...” jawab Naura. “Pinjamin dong...”
“Boleh, datang aja ke rumah.” Kemudian aku berkata ke Bowo, “Thanks, Wo. Menuku telah siap, aku balik ke mejaku. Sukses ya...”

***

Note: disunting dari sebuah novel Kuhapus Namamu dengan Nama-Nya, karya Taufiqurrahman Al-Azizy.

HAJI MURAT


Suatu ketika aku melintas sebuah ladang. Waktu itu sedang musim panas, rerumputan sudah disiangi, dan orang-orang sudah mulai bersiap-siap untuk menuai gandum hitam.

Sungguh elok lengkapnya beragam bunga di tengah musim itu: warna-warni semanggi, merah, putih, merah muda yang tampak lunak dan harum baunya; bunga aster dengan warnanya yang menyolok; bunga “cinta tak cinta” putih susu dengan warna kuning terang di bagian tengahnya, tapi baunya sedikit apek; bunga kolsa berbau madu; bunga genta tulip lila dan putih tegak menjolok ke atas; bunga kacang jalar; bunga skabius yang rapi, merah, kuning dan lila; bungan lawatan merah muda berbulu halus, dengan bau yang semerbak; bunga padi-padian yang masih baru dan tampak biru ketika terkena sinar matahari, dan menjadi biru muda dan merah di sore hari menjelang layu; dan maskumambang yang mesra berbau badam dan cepat layu.

Kukumpulkan seikat besar dari berbagai jenis bunga itu, kemudian membawanya pulang. Tapi, saat itu terlihat oleh saya di parit ada bunga pulutan merah padam yang sedang mekar, di tempat kita disebut bunga “tartar”. Orang-orang selalu berusaha membabatnya, bahkan meski terbabat tanpa sengaja, yang membabat segera menjauhkannya dari jerami, agar tak tergores tangannya. Terbersit pikiran untuk memetik bunga pulutan itu dan memasukkannya di antara ikatan. Kemudian, aku turun ke parit. Ada kumbang hinggap di tengah bunga, terlena dengan nikmat dan malas. Setelah mengusirnya, aku pun memetik bunga itu. Alangkah sukarnya, batang bunga itu selain sukar juga menggores dari segala penjuru sapu tangan yang aku pakai untuk membungkus tangan. Bunga itu begitu kuat, hingga sekitar lima menit kuhabiskan untuk itu, dan sapu tangan jadi robek-robek. Sampai ketika aku berhasil memetik bunga itu, batangnya sudah remuk dan bunganya pun sudah tak tampak segar dan indah lagi. Selain itu, karena kasar dan rusak, bunga itu tidak lagi cocok dengan bunga-bunga lain yang manis dalam ikatan. Aku sungguh menyesal telah dengan sia-sia merusak bunga yang tadinya indah pada tempatnya, dan membuangnya begitu saja. “Alangkah besar kekuatan hidupnya,” pikiranku yang mengingat upaya yang telah kulalakukan untuk memetik bunga itu. “Begitu tangguh ia bertahan dan begitu mahal ia mempertaruhkan hidupnya.”

Jalan pulang menuju rumah melewati tanah hitam beruap yang telah selesai dibajak. Aku berjalan sedikit menanjak menyusuri tanah hitam berdebu. Ladang yang telah dibajak adalah ladang milik tuan tanah, sangat luas, kiri dan kanan mencapai jalanan: ke depan dan arah gunung tidak ada yang nampak kecuali tanah hitam yang telah dibajak. Pembajakan yang bagus sekali, tidak ada yang nampak di ladang itu satu tumbuhan pun termasuk rumput – semuanya hitam. “Sungguh manusia masuk perusak, kejam; berapa banyak mahkluk hidup dan tumbuhan dimusnahkan demi kepentingan hidupnya sendiri,” pikirku sambil mencari-cari sesuatu yang masih hidup di tengah ladang hitam yang mati itu. Di depanku, kanan jalan, tampak semacam semak kecil. Begitu aku dekati, aku melihat di tengah semak itu bunga “tartar” seperti tadi, yang bunganya kupetik dengan sia-sia dan membuangnya.

Semak “tartar” itu terdiri dari tiga cabang. Cabang yang pertama sudah patah, sedang sisanya mencongak seperti tangan patung. Dua cabang yang lain, masing-masing bertengger satu bunga. Tadinya kedua bunga itu berwarna merah, tapi sekarang menghitam. Satu batang patah, patahannya menggelantung ke bawah, dengan bunga kotor di ujungnya. Batang lainnya masih mencongak ke atas, meski berlumpur tanah hitam. Nampaknya seluruh semak itu pernah terlindas roda dan bangkit lagi sesudah itu, oleh karena itu berdirinya agak miring, tapi bagaiamana pun juga dia tetap berdiri. Seperti telah dicabut tubuhnya sebagian, jeroannya dipuntir, tangannya direnggut, matanya dicungkil. Tapi dia tetap berdiri dan tidak menyerah pada manusia yang telah membunuh semua saudara di sekitarnya.

“Kekuatan yang luar biasa!” pikirku. “Manusia boleh mengalahkan semuanya, berjuta rumput dimusnahkan, tapi yang ini tidak menyerah.”

Dan aku teringat oleh riwayat lama di daerah Kaukasus yang sebagian aku saksikan sendiri, sebagian aku dengar dari saksi mata, dan sebagian lagi aku bayangkan sendiri. Demikian riwayat itu, tersusun menurut ingatan dan angan-anganku sendiri.

Terjadi akhir tahun 1851.

*****
Note: Disunting dari Novel pendek Haji Murat, naskah asli dalam bahasa Rusia oleh Leo Tolstoy. Pernah diterjemahkan oleh Koesalah Soebagyo Toer dalam bahasa Indonesia tahun 1968, disita oleh militer waktu beliau ditahan akhir tahun itu. Diterjemahkan ulang 40 tahun kemudian oleh penerjemah yang sama.