Rabu, 09 Maret 2011

HAJI MURAT


Suatu ketika aku melintas sebuah ladang. Waktu itu sedang musim panas, rerumputan sudah disiangi, dan orang-orang sudah mulai bersiap-siap untuk menuai gandum hitam.

Sungguh elok lengkapnya beragam bunga di tengah musim itu: warna-warni semanggi, merah, putih, merah muda yang tampak lunak dan harum baunya; bunga aster dengan warnanya yang menyolok; bunga “cinta tak cinta” putih susu dengan warna kuning terang di bagian tengahnya, tapi baunya sedikit apek; bunga kolsa berbau madu; bunga genta tulip lila dan putih tegak menjolok ke atas; bunga kacang jalar; bunga skabius yang rapi, merah, kuning dan lila; bungan lawatan merah muda berbulu halus, dengan bau yang semerbak; bunga padi-padian yang masih baru dan tampak biru ketika terkena sinar matahari, dan menjadi biru muda dan merah di sore hari menjelang layu; dan maskumambang yang mesra berbau badam dan cepat layu.

Kukumpulkan seikat besar dari berbagai jenis bunga itu, kemudian membawanya pulang. Tapi, saat itu terlihat oleh saya di parit ada bunga pulutan merah padam yang sedang mekar, di tempat kita disebut bunga “tartar”. Orang-orang selalu berusaha membabatnya, bahkan meski terbabat tanpa sengaja, yang membabat segera menjauhkannya dari jerami, agar tak tergores tangannya. Terbersit pikiran untuk memetik bunga pulutan itu dan memasukkannya di antara ikatan. Kemudian, aku turun ke parit. Ada kumbang hinggap di tengah bunga, terlena dengan nikmat dan malas. Setelah mengusirnya, aku pun memetik bunga itu. Alangkah sukarnya, batang bunga itu selain sukar juga menggores dari segala penjuru sapu tangan yang aku pakai untuk membungkus tangan. Bunga itu begitu kuat, hingga sekitar lima menit kuhabiskan untuk itu, dan sapu tangan jadi robek-robek. Sampai ketika aku berhasil memetik bunga itu, batangnya sudah remuk dan bunganya pun sudah tak tampak segar dan indah lagi. Selain itu, karena kasar dan rusak, bunga itu tidak lagi cocok dengan bunga-bunga lain yang manis dalam ikatan. Aku sungguh menyesal telah dengan sia-sia merusak bunga yang tadinya indah pada tempatnya, dan membuangnya begitu saja. “Alangkah besar kekuatan hidupnya,” pikiranku yang mengingat upaya yang telah kulalakukan untuk memetik bunga itu. “Begitu tangguh ia bertahan dan begitu mahal ia mempertaruhkan hidupnya.”

Jalan pulang menuju rumah melewati tanah hitam beruap yang telah selesai dibajak. Aku berjalan sedikit menanjak menyusuri tanah hitam berdebu. Ladang yang telah dibajak adalah ladang milik tuan tanah, sangat luas, kiri dan kanan mencapai jalanan: ke depan dan arah gunung tidak ada yang nampak kecuali tanah hitam yang telah dibajak. Pembajakan yang bagus sekali, tidak ada yang nampak di ladang itu satu tumbuhan pun termasuk rumput – semuanya hitam. “Sungguh manusia masuk perusak, kejam; berapa banyak mahkluk hidup dan tumbuhan dimusnahkan demi kepentingan hidupnya sendiri,” pikirku sambil mencari-cari sesuatu yang masih hidup di tengah ladang hitam yang mati itu. Di depanku, kanan jalan, tampak semacam semak kecil. Begitu aku dekati, aku melihat di tengah semak itu bunga “tartar” seperti tadi, yang bunganya kupetik dengan sia-sia dan membuangnya.

Semak “tartar” itu terdiri dari tiga cabang. Cabang yang pertama sudah patah, sedang sisanya mencongak seperti tangan patung. Dua cabang yang lain, masing-masing bertengger satu bunga. Tadinya kedua bunga itu berwarna merah, tapi sekarang menghitam. Satu batang patah, patahannya menggelantung ke bawah, dengan bunga kotor di ujungnya. Batang lainnya masih mencongak ke atas, meski berlumpur tanah hitam. Nampaknya seluruh semak itu pernah terlindas roda dan bangkit lagi sesudah itu, oleh karena itu berdirinya agak miring, tapi bagaiamana pun juga dia tetap berdiri. Seperti telah dicabut tubuhnya sebagian, jeroannya dipuntir, tangannya direnggut, matanya dicungkil. Tapi dia tetap berdiri dan tidak menyerah pada manusia yang telah membunuh semua saudara di sekitarnya.

“Kekuatan yang luar biasa!” pikirku. “Manusia boleh mengalahkan semuanya, berjuta rumput dimusnahkan, tapi yang ini tidak menyerah.”

Dan aku teringat oleh riwayat lama di daerah Kaukasus yang sebagian aku saksikan sendiri, sebagian aku dengar dari saksi mata, dan sebagian lagi aku bayangkan sendiri. Demikian riwayat itu, tersusun menurut ingatan dan angan-anganku sendiri.

Terjadi akhir tahun 1851.

*****
Note: Disunting dari Novel pendek Haji Murat, naskah asli dalam bahasa Rusia oleh Leo Tolstoy. Pernah diterjemahkan oleh Koesalah Soebagyo Toer dalam bahasa Indonesia tahun 1968, disita oleh militer waktu beliau ditahan akhir tahun itu. Diterjemahkan ulang 40 tahun kemudian oleh penerjemah yang sama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar