Waktu itu hari terakhir di bulan November, biasanya pada sore hari hujan banyak turun di bulan itu, dan bumi dengan segala yang ada di atasnya bagaikan hamparan permadani sutera dengan dihiasi berbagai warna-warni bunga. Sisa-sisa rintik hujan di atas dedaunan sungguh elok bagaikan mutiara yang bertaburan di atas zamrud yang hijau dan terpancar megah. Sungguh indahnya mentari yang matahari yang turut memancarkan sinarnya, diikuti nyanyian burung-burung yang saling bersahutan di atas dahan.
Pagi itu Abdullah bermaksud pergi ke kota, dia berangkat dari rumahnya di Ranca Nasar yang letaknya agak jauh dari Garut. Segarnya udara pagi itu, dengan panas sinar matahari yang tidak terlalu menyengat, membuat Abdullah berpikir untuk melakukan perjalanannya dengan berjalan kaki sambi menikmati indahnya pemandangan di sepanjang jalan.
Ketika sudah setengah perjalanan, saat menikmati indahnya pemandangan di tepi jalan dekat desa Tarogong, Abdullah melihat tiga orang keluar dari ladang, seorang pria, seorang wanita dan seorang gadis berusia sekitar 15 tahun. Abdullah berpikir, mungkin dia akan mendapat teman di perjalanan jika ia bercakap-cakap dengan pria yang baru keluar dari ladang tersebut. Oleh karena itu, setelah memberi salam, Abdullah bertanya-tanya tentang adat kebiasaan di daerah itu. Abdullah telah menguasai dengan sangat baik bahasa Sunda, meskipun ia belum cukup lama tinggal di daerah Sunda, oleh karena itu ia bercakap-cakap dengan orang itu menggunakan bahasa Sunda. Pria itu bertanya kepada Abdullah, “Hendak ke mana, Tuan?”
“Ke Garut,” jawab Abdullah.
“Kebetulan kami juga akan ke Garut,” kata pria itu lagi. Kemudian mereka berdua terus bercakap-cakap, sesekali wanita itu juga turut bercakap-cakap dengan mereka, sedang si Gadis hanya diam saja. Sempat Abdullah menoleh ke arah gadis yang bersama mereka, belum pernah ia melihat seorang gadis di Garut dan di tempat-tempat lain di Jawa yang memiliki kecantikan dan kelembutan seperti yang dimiliki gadis itu. Diam-diam Abdullah kagum kepadanya. Si gadis tertunduk malu ketika melihat Abdullah memperhatikannya. Lalu Abdullah kembali berbincang-bincang dengan pria dan wanita itu, ia menanyakan namanya. “Saya Rusna,” jawabnya. Kemudian menunjuk wanita yang bersamanya, “Namanya Minah, istri saya.” Dia kemudian terdiam.
Lama Abdullah menunggu pria itu mengatakan nama si gadis itu, barangkali anaknya. Tapi karena Abdullah lihat pria itu diam saja, maka dia pun bertanya, “Apakah ini anak Bapak?” Setelah terdiam sejenak, pria itu berkata, “Betul, dia anakku, kami memanggilnya Neng.” Si gadis mendekati ibunya begitu mendengar namanya disebut dan membisikkan sesuatu ke telinganya. Si ibu itu malah membentaknya tanpa mempedulikan apa yang membuat anaknya gembira, dan sepertinya dia tidak mengerti apa yang dikatakan oleh anaknya. Gadis itu kemudia memandang Abdullah dengan pandangan yang tak diketahui orang lain, terkecuali Abdullah. Kemudian gadis itu tertunduk lagi. Abdullah tahu betul pandangan yang mencuri-curi itu, yang jika dijelaskan tentunya akan menghabiskan banyak waktu. Memang tidak semua hal bisa diungkapkan dengan kata-kata, dihitung dengan jari, dilukiskan dengan kuas, ditulis dengan pena, hanya hati yang bisa mengetahui dan mata yang mengungkapnya. Cuma dari yang Abdullah pikirkan, gadis itu tinggal bersama kedua orang tuanya yang sedang dalam kesulitan hidup dan cukup menderita dengan segala perlakuan kasar dari orang tuanya.
Ia ingin bercakap-cakap dengan gadis itu dengan perkataan yang akan membuatnya senang, tetapi tidak menjadikan orang tuanya cemas. Ia pun bertanya kepada gadis itu dengan bahasa Sunda, “Kenapa kamu tidak turut bercakap-cakap bersama kami, Neng?” Begitu Neng mendengar namanya disebut dan percakapan itu ditujukan padanya, dia cuma tersenyum kemudian menunduk lagi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Berkatalah Abdullah kepada Rusna, “Mungkin rasa malunya kepada saya dan rasa takutnya kepada Bapak membuatnya enggan berbicara, jadi saya mohon ijinkanlah Neng untuk turut bercakap-cakap dengan kita, Pak.” Sejurus kemudian Rusna berkata kepadanya, “Sebenarnya bukan begitu Tuan, bukan seperti yang disangka oleh Tuan, cuma dia tidak mengerti apa yang Tuan bicarakan,”
“Aneh, sungguh aneh! Bagaimana mungkin dia tak mengerti, padahal saya berkata padanya dengan bahasa Sunda, bahasanya sendiri, dan tentunya bahasa yang dia mengerti,” kata Abdullah.
“Tuan menyangka Neng mengerti bahasa Sunda, padahal dia baru saja tinggal di daerah sini,”
“Apakah dia berbicaranya dengan bahasa Melayu?” tanya Abdullah.
“Tidak Tuan, dia tidak mengerti bahasa Melayu, Madura atau pun bahasa Jawa,” jawab si bapak.
“Lantas, dengan bahasa apa dia berbicara?” tanya Abdullah kembali.
“Dia cuma mengerti bahasa Arab, itu pun sesuai dengan keinginannya, Tuan. Kemarin kami telah pergi ke sekolah putri berasrama agar dia bisa belajar bahasa Sunda, tapi Kepala Sekolah menolaknya, karena sekolah itu mengajar dengan bahasa Sunda sebagai pengantarnya, sedang dia tidak memahaminya.”
Terkejut Abdullah begitu mendengar bahwa gadis itu hanya bicara dengan bahasa Arab. Tiba-tiba dia berhenti dan Rusna beserta istrinya turut berhenti. Abdullah bertanya kepada Neng dengan bahasa Arab, “ Apa benar Neng apa yang dikatakan bapakmu bahwa kamu hanya mengerti berbicara dengan bahasa Arab?” Neng menjawab dengan tersipu-sipu, tampak rona merah di kedua pipinya, “Benar Tuan, kurang lebih baru seminggu saya tinggal di sini, saya tidak mengerti berbicara dengan kedua orang tua saya ini kecuali dengan bahasa isyarat. Beberapa haji yang tahu beberapa bahasa Arab yang pendek terkadang mengunjungi kami. Bicara mereka dengan saya menggunakan bahasa yang mereka pahami itu, itulah saat-saat saya agak merasa senang.” Neng mengucapkan dengan bahasa Arab yang fasih, tutur katanya terdengar sangat merdu di telinga Abdullah.
Belum selesai Neng berbicara, Abdullah melihat air mata meleleh di kedua pipi Neng yang dilihatnya tadi merah merona. Abdullah bertambah heran dan terkejut. Kepada Rusna ia ingin meminta penjelasan tentang permasalahan yang dihadapi anak gadisnya dan ingin ditanyakannya pula di mana ia tinggal sebelumnya. namun, di luar dugaan Rusna mengatakan, “Mohon maaf Tuan, sepertinya kami telah sampai di tempat yang kami tuju, kami akan mampir ke tempat kerabat di desa ini,” katanya sambil menunjuk desa Lebah Daun. Abdullah menjadi bingung, namun tak dapat menjawab apa-apa. Lalu mereka berdua bersalaman sebagaiamana kebiasaan tradisi di daerah itu. Rusna dan keluarga pun menuju ke desa itu. Neng tahu betul maksud bapaknya memotong pembicaraannya. Menoleh dia kepada Abdullah dengan pandangan yang jauh menembus hatinya yang paling dalam. Ditinggalkannnya Abdullah dengan keadaan hati yang tercuri tanpa pegangan.
Note: Disunting dari Novel Gadis Garut, karya Ben Sohib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar