Naif, sungguh naif bila berkata tanpa bukti, berbicara tanpa fakta. Pernah aku baca sebuah buku yang aku sendiri lupa judul dan penulisnya, bahwa yang dikatakan orang tentang kita itulah kita. Seorang sahabat bisa dikenal melalui lidah sahabat-sahabatnya juga. Maka datanglah ke kotaku, dan carilah orang yang bernama Naufal putra kyai Haji Ahmad, dukuh Seruni, dan tanyakan sendiri siapa Naufal adanya?
Seseorang pun akan berkata, “Dia putra terbaik dari orang tua yang baik,” Yang lain akan menambahkan, “Dia pernah menjadi pelajar yang berperingkat pertama di semua tingkatan pendidikannya,” Sedang yang lain lagi akan menyahut, “Seorang pemuda yang sukses, beruntung dari keluarga beruntung dan berada!”
Naufal, itulah namaku. Sekarang usiaku duapuluh lima tahun. Abahku yang seorang kyai, menjadikanku lahir dalam pintalan benang-benang agama. Bila pesantren itu sajadah, di atas sajadah itulah aku tumbuh dan dibesarkan. Abahku pengasuh sekaligus pemilik pesantren. Aku pun lahir dari rahim Ummi. Tasbih, tahmid, takbir, bacaan Al-Quran, shalat, puasa, ibadah-ibadah lain dan amalan-amalan sudah cukup aku kenal sejak lahir. Sudah akrab dengan itu semua sejak diayun-ayun oleh Ummi.
Pesantren Abah bukan pesantren tradisional, yang memberlakukan ajaran agama dengan begitu keras dan ketatnya. Cara berpikir Abah telah keluar dari batas-batas konvensional pesantren. Kata Abah belajar ilmu agama itu wajib dan penting, tetapi belajar untuk meraih kesuksesan hidup di dunia juga penting. Prinsip inilah yang Abah tanamkan dalam benakku. Hingga aku dibesarkan dengan ilmu-ilmu agama, tetapi juga berkembang dalam ilmu-ilmu dunia. Aku pun menjadi putra kyai yang bergelar Sarjana Ekonomi. Tahun depan, sudah menunggu perusahaan di mana aku akan bekerja di bagian Quality Control akan memberikan beasiswa untuk meneruskan kuliah S2 di jurusan Magister Management.
Naufal, itulah aku. Sepertinya tidak ada dalam masa laluku yang mengenal duka. Abahku begitu dihormati, dan aromanya memberkatiku pula. Di rumah dan pesantren sebutanku adalah Gus Naufal. Yang tidak hanya cakap soal agama, tapi juga sukses dalam pendidikan, pergaulan dan karir. Hanya aku ingat benar ketika duduk di bangku SMP kelas 2, peringkatku pernah melorot ke nomor 2, namun itu hanya satu semester. Lain dari itu, sejak SD hingga SMA, aku selalu peringkat pertama, dan lulus dari perguruan tinggi negeri dengan predikat cumlaude. Perusahaan-perusahaan bonafit telah menungguku, hingga begitu mudah untuk memilih satu di antaranya.
Perusahaan yang kupilih adalah perusahaan di kotaku. Perusahaan yang mengekspor produk khas kotaku; carica, kacang dan jamur Dieng. Sebenarnya ada empat alasan kenapa aku memilih perusahaan itu. Pertama, karena aku mencintai kota ini. Kedua, kebahagiaanku akan berlebih ketika dekat dengan rumah dan orang tua. Ketiga, perusahaan itu menawarkan jabatan yang sesuai dengan akademisku. Dan keempat, karena gadis yang kudamba sejak zaman kuliah ada di kota ini, dan di kota ini pula cintaku bersemi.
Naura.....
Namanya Naura!!!
Naufal dan Naura.....
Suhanallah, tak hentinya aku mengucap kesucian Tuhanku, bila kuingat kisah cintaku, syukurlah tidak pernah mengering. Mendapatkan Naura adalah puncak kebahagiaan yang pernah kuraih. Dengan memilikinya adalah anugerah terindah dari Tuhan Yang Maha Esa.
Sebagai bunga kampus, dia telah begitu banyak menjeritkan kepedihan pada banyak mahasiswa. Bagaimana pula aku akan menggmbarkan sosoknya? Wajahnya? Tubuhnya? Sudah tentu indahnya pemandangan kampus akan cidera bila tidak ada dia di kampusku. Kefokusan pada studi dan organisasi memang menjadikan sosok Naura tidak begitu berpengaruh padaku, akan tetapi apabila mendengar teman-teman seringkali membincangkannya, aku pun mulai tergoda untuk mengenalnya.
Untuk melihatnya.
Untuk mendekatinya.
Senyumnya.....
Senyum Naura, pertama kali aku melihatnya, tatkala dia tengah berbincang bersama teman-temannya di sudut kampus, di pojok perpus. Sering aku melihat senyum gadis, tapi yang ini tampak lain, jantungku berdegup kencang dan hatiku mendesir-desir, begitu melihat senyumannya. Tanpa pernah kuduga sebelumnya, ternyata aku menyukai senyumannya. Dan tanpa kusadari pula, sungguh sulit dimengerti, aku pun jatuh cinta. Jatuh cinta pada senyum Naura, sang bunga kampus.
Ya Allah... apakah benar aku jatuh cinta?!
“Bukan kau saja yang mencintainya,” kata Ilham suatu ketika, teman satu angkatan namun beda jurusan denganku. “Terlalu banyak mahasiwa di sini yang mencintainya. Berat, sob!”
Aku sudah cukup lama terlatih menjadi yang terbaik, maka dengan cara yang sama aku berjanji, aku akan menjadi yang terbaik dari yang baik-baik dalam mendekati Naura. Aku pun mencari tahu yang berkaitan dengannya, dan betapa senangnya ketika mengetahui, ternyata dia berasal dari kota yang sama denganku. Bagiku ini adalah nilai plus, dibandingkan dengan saingan-sainganku yang lain. Keluarganya juga kaya, tapi bagiku kaya atau miskin, aku tetap jatuh cinta padanya.
Aku akan mendekatinya.
Aku akan mendapatkannya.
Cinta Naura.
Untuk memburu Naura, aku berburu buku-buku tentang cinta, demi mengetahui cara mencintai dan dicintai seseorang. Di Jogja, buku adalah rumahnya. Kupikir, tanpa kesulitan aku akan dapatkan buku-buku yang aku cari. Kususuri kawasan Malioboro, aku tahu di sana dijual buku dengan harga murah, dibandingkan dengan, misalnya harus daang ke Gramedia. Di rak-rak buku kulihat-lihat banyak bertumpukan buku-buku dengan berbagai jenis dan judul. Bingung aku memilihnya, kutanyakan saja buku-buku tentang cinta.
“Judulnya apa, Mas?”
“Yang penting tentang cinta,” jawabku.
“Babyak buku tentang cinta, apa mau diborong semua?” mbak-mbak berwajah Sunda penjaga toko sibuk mencarikan bukunya untukku. Tetapi pandangan mataku tertuju pada buku karangan Abul Faral al-Jauzi yang berjudul Ibnul jauzi Bertutur Tentang Cinta. Nah, ini dia buku yang sepertinya kucari-cari. Ini akan kubeli, juga yang lainnya.
“Coba yang itu, Mbak,” pintaku sambil menunjuk tumpukan yang tempatnya agak di atas.
Mbak-mbak berwajah Sunda itu mengambil buku yang kutunjukkan.
Kemudian aku menunjuk yang satunya lagi. Kudapati sekarang ada dua buku di tanganku, masing-masing karya Paul Hauck yang berjudul Bagaimana Mencintai dan Agar Dicintai. Satunya lagi berjudul Ta’aruf Cinta: Agar Dicintai, Dihormati, dan Berkharisma karangan Muhammad bin ‘Ismail al-Umrani.
“Tiga ini saya beli, Mbak.”
“Yang lain masih banyak loh,” katanya.
“Sudah ini aja dulu, Mbak.” Aku tersenyum.
Hatiku mengajakku untuk segera berlari kencang pulang ke kost-an, untuk segera melahap ketiga buku yang baru saja kubeli itu. Tetapi aku belum puas, aku mampir ke warnet. Kupikir internet tentu menawarkan lebih banyak tulisan tentang cinta. Aku googling tulisan-tulisan tentang cinta. Kudapat banyak.
Puas.
Ku-print artikel-artikel yang telah ditunjukkan ole Google yang maha tahu.
Kemudian aku pulang dengan hati yang berbunga-bunga.
***
Namanya Bowo. Aku hanya akan mendesah kuat jika mengingat nama dan wajahnya. Di antara saingan-sainganku yang mendekati Naura, dialah yang paling kutakuti dan aku cemburui. Kepribadiannya menyenangkan, alias macho. Menarik dan tahu cara memikat, sepertinya berasal dari kalangan high class. Para gadis mendekatinya, justru pada saat dia mendekati Naura.
“Apa iya sih, aku harus kalah sama Bowo?”
“Ahh, tentu tidak!”
Pikiranku menemukan cara bagaimana mendapatkan perhatian Naura dari cara-cara yang diperlihatkan Bowo dalam mendekatinya. Aku sendiri mengenal Bowo. Bahkan mengenalnya dengan baik, satu fakultas, satu jurusan. IP-nya berselisih sedikit dengan IP-ku, tentu saja dia yang di bawahku. Dia tidak tahu bahwa aku juga tertarik pada Naura. Sering kali cemburuku menjadi kebencian pada Bowo ketika kudapati dia lama mengobrol dengan Naura. Sedang sampai pada detik ini saja hanya senyuman saja yang Naura berikan padaku. Hmm. Senyuman maut yang bisa mengguncangkan jantung dan meledakkan dadaku.
Suatu ketika seorang teman memberitahuku bahwa Bowo mengajak makan siang Naura di Cafe Fresh, jam 13.00. Dag, Dig, Dug! Jantungku rasanya mau copot dan keluar dari tempatnya, ketika kulihat waktu telah menunjuk angka 12.00. Bayangan yang tidak-tidak tentang Bowo dan Naura menari-nari dalam pikiranku.
Duh, apa yang harus kuperbuat?!
Kuingat-ingat lagi semua jurus-jurus yang kupelajari dari buku, makalah dan artikel tentang cinta. Hingga pada satu kesimpulan, bahwa tidak ada satu ilmu yang manjur untuk mendekati setiap wanita. Semua ilmu cinta yang semacam ini adalah ilmu yang relatif. Umumnya, siapapun dia – entah laki, entah perempuan – cenderung menyukai orang yang periang, gaul, bisa diajak bercanda, bisa menempatkan diri, menghormati sesama, menyukai keindahan, baik hati dan tidak sombong. Hadohhh!!! Kalau seperti ini semua orang juga suka, sudah umum. Aku harus memiliki kekhususan dan kekhasan tertentu, hingga Naura lebih banyak melihat ke arahku dan mendengar perkataan-perkataanku, dan memalingkan wajahnya untuk mengagumi bowo dan rayuan-rayuannya.
Aku tahu sekarang.
Aku harus tampil beda.
Di depan Naura.
Aku berencana pergi ke Cafe Fresh, membuyarkan kencan mereka dengan kedatanganku, merebut perhatian Naura hari ini.
Iya, hari ini, atau tidak sama sekali!!!
Dan kau, Bowo...!!!
Tunggu kedatanganku di cafe.
Naura sekarang bukanlah kekasihmu, bukan pula kekasihku, bukan kekasih siapa pun. Bukan kezaliman seandainya aku tertarik kepadanya sebagaimana dirimu. Saksikanlah, bahwa aku akan bersaing dengan kecerdasan, bukan dengan tipu muslihat dan provokasi, jegal-menjegal dan sikut-sikutan seperti politisi.
***
Cafe Fresh
Pukul 13.10 WIB
Angin melambai-lambaikan daun-daun palem di sudut kiri cafe. Tampak sepi cafe ini, biasanya halaman parkir penuh sesak dengan mobil dan motor kendaraan pengunjung. Kulihat mobil Bowo, sebuah sedan berwarna biru. Jantungku berdetak cepat, seperti mau copot dari tempatnya. Pastilah Bowo sudah berada di dalam bersama Naura. Sedang makan bersama, atau sedang bercanda. Aku segera turun dari mobilku, melangkah memasuki cafe. Aku harus pasang kuda-kuda untuk berpura-pura mencari Bowo dan Naura, hingga mataku pun tertuju pada satu meja di pojok kiri dekat jendela. Aku benar-benar tidak berani menoleh ke kiri atau ke kanan, aku berjalan dengan mata lurus menuju meja tersebut. Cemas, hatiku cemas memikirkan Bowo dan Naura.
Aduh...
Di mana kira-kira mereka duduk?
“Mau pesan apa, Mas?” tanya seorang pelayan mengagetkanku. Dia tersenyum, kemudian menyerahkan daftar menu.
Saat yang tepat untuk menarik perhatian Bowo dan Naura yang tempat duduknya entah dimana.
“Ini aja, Mbak. Bawal bakar asam manis...” kataku sambil mengeraskan suara, agar didengar Bowo dan Naura.
“Minumnya?”
“Orange juice.”
“Pakai lalapan?”
“Iya, masa cuma bawal?” sambil lebih mengeraskan suara.
Pelayan itu tersenyum, kemudian mundur dan berbalik ke belakang.
Tinggal aku sekarang menenangkan batinku. Pikiranku terkonsentrasi pada Bowo. Akan kuikuti pembicaraannya, kemudian membelokkan arah pembicaraan itu padaku. Tiba-tiba Hp-ku berdering, kuangkat dan kukeraskan suaraku lagi.
“Assalamu’alaikum, hallo...”
Di seberang menjawab, “wa’alaikum salam...”
“Abah...?” kudengar suara abah yang menelepon. “Ada apa Bah, tumben menelepon?”
“Kapan pulang?”
“Memang ada apa, Bah?”
“Kalau kamu pulang, hubungi segera Pak Irman. Baru saja dia datang ke rumah.”
“Pak Irman siapa, Bah?”
“Dari perusahaan jamur, masa kamu lupa?”
“Untuk apa beliau mencariku?”
“Pak Irman minta kamu kerja di perusahaannya. Katanya sudah kirim surat ke kampus kuga dan ninggalin nomor telepon. Sudah kau hubungi?”
“Belum, Bah. Skripsiku belum jadi. Ya, Insya Allah minggu depan...”
Belum selesai pembicaraanku dengan Abah, Bowo sudah berdiri di sampingku, tersenyum padaku. Entah kapan datangnya.
“Hi...,” Bowo menyapaku.
“Maaf, sebentar...,” ucapku pada Bowo sambil membalas senyumannya. Aku lanjutkan pembicaraanku dengan Abah, “Baiklah, Bah. Begitu pulang nanti aku segera temui Pak Irman.”
“Kalau bisa segera pulang. Assalamu’alaikum...”
“Insya Allah, Bah. Wa’alaikum salam...”
Kututup HP-ku. Kutaruh di atas meja. Menoleh ke arah Bowo yang masih berdiri di sampingku. Sambil pura-pura kaget aku tersenyum padanya.
“Disuruh pulang?” tanya Bowo.
“Iya. Ehh, kamu sendirian aja?” tanyaku pura-pura tidak tahu.
“Ah, enggak...,” Bowo lantas berbisik ke telingaku dan menyebut sebuah nama: Naura. Kutelan ludahku sendiri.
“Mana dia?” tanyaku
“Itu... di situ...meja no.5,”
Aku menoleh ke arah telunjuk Bowo. Kudapati juga Naura. Kulihat dia tampak sedang memegang buku, entah buku apa.
“Pacar barumu ya?” godaku.
“Ahh, lagi tahap PDKT,” jawabnya.
“Kukira sudah jadian,”
“Halahhh... ha ha ha, ayo tak kenalin,” ajaknya.
Akupun berdiri, berjalan mengiringi Bowo, menuju meja No.5.
“Na, kenalin...” ucap Bowo sesampainya dei dekat Naura.
Naura mendongakkan kepala. Memandang ke arah Bowo, lalu ke arahku. Tersenyum aku padanya. Tersenyum dengan sepenuh-penuhnya dan setulus-tulusnya.
Naura mengulurkan tangan.
Sejenak aku kebingungan. Tidak mungkin aku sambut uluran jabat tangannya. Didikanku untuk tidak menyentuh seorang gadis, meski jabatan tangan sekalipun, terlebih aku memiliki hasrat cinta padanya. Semoga dia tak tersinggung bila tak kusambut uluran tangannya?!
“Naufal...” tanpa menyambut uluran tangannya. Aku mencintaimu, tetapi aku juga mencintai agamaku.
“Naura...” dia agak canggung, dan aku memahaminya.
“Dia berasal satu kota denganmu,” Bowo menambahkan.
Ucapan Bowo seperti menghidupkan suasana, setelah sekian menit terjadi kekakuan.
Naura menatapku.
“Wonosobo?” tanyanya.
“Iya, Wonosob,” jawabku.
“Tahu nggak? Dia putra K.H. Ahmad,” lagi-lagi Bowo menambahkan.
Semakin dalam Naura menatapku. Ucapan Bowo memberikanku pintu masuk untuk berbincang dengan Naura.
“Jadi... mas putra K.H. Ahmad?”
“Memang tahu?” tanyaku, menguji sambil mengulas senyum.
“Ahh, siapa sih yang tak kenal beliau...”
“Begitu?” nama Abah turut berkontribusi. “Omong-omong kuliah di mana?” lanjutku.
“UGM”
“Lho, kok sama” batinku tertawa. Inilah aksioma, tentang sesuatu yang jawabannya telah aku mengerti. “Jadi kita satu kampus dong...”
“Memang mas di UGM juga?”
Aku tak langsung menjawab, dan mengarahkan agar Bowo menjawab pertanyaannya, “Sekelas sama Bowo,” kataku kemudian.
“Bowo IP-nya the best...” kuangkat prestasi Bowo.
Sambut Bowo sambil tersenyum, “Best gimana, kamu kan yang best?” Lalu katanya kepada Naura, “Dia juara terus, Na. IP-ku selalu di bawahnya,”
“Ahh, cuma selisih sedikit kan, sob,” kataku. “Tetap saja banyak hal lain yang tak bisa kulampaui darimu.”
“Kau selalu merendah, Fa.”
Target pertamaku telah tercapai: menunjukkan pada Naura bahwa IP-ku lebih baik dari IP Bowo.
Nafasku terasa sesak begitu melihat Bowo duduk di sebelah Naura, sepertinya badannya sengaja didekat-dekatkannya, seakan ingin menunjukkan padaku, Naura kekasihnya! Sedangkan aku duduk di hadapan mereka.
“Naura ambil fakultas apa?” tanyaku.
“Sastra Indonesia.”
“wahhh...”
“Mas sering pulang?”
“Hampir sebulan sekali. Kamu gimana?”
“Sama.”
“Putra kyai, hebat ya?”
“Ahh, yang hebat bapaknya, masa anaknya,” jawabku. “Wonosobonya mana?”
“Garung, depan tol, ke kanan, masuk sedikit...”
Agar Bowo tak jadi penonton bulu tangkis karena percakapanku dengan Naura, aku pun berkata kepadanya, “Garung itu lebih dingin dari Seruni, tempatku, Wo. Arah ke Dieng. Kamu diajak main ke rumah gak pernah mau, kenapa? Kapan kira-kira mau ke rumah? Nanti aku ajakin ke Dieng, nanti Naura kita ajak...”
“Apaan sih?” kata Naura.
Aku pun mencoba untuk tersenyum. Menutupi batinku yang pahit getir dan dongkol, seperti habis minum jamu tanpa penawar.
“Ya udah, kapan-kapan saja kalau Naura membolehkan...”
Demi Allah, aku cemas. Kalau Naura mau bisa-bisa malah amburadul, berabe...!!!
“Boleh gak, Na?” tanya Bowo.
“Kapan-kapan aja ya,” jawab Naura.
Alhamdulillah, ya Allah, kecemasanku pun sedikit berkurang.
“Kapan-kapan...?!” desah Bowo, “Dari dulu selalu kapan-kapan...”
Aha, hatiku berseru. Rupa-rupanya masih tahap pendekatan seperti ini pendekatan Bowo pada Naura. Sudah dipastikan kalau mereka juga masih jauh dari jadian. Kusimpulkan sendiri kalau aku masih berpeluang untuk merebut perhatian Naura dari Bowo. Mataku tertuju pada buku yang dipegang Naura. Dia perlihatkan padaku. Ternyata sebuah novel. Cukup tebal, lumayan tebal. Dan kebetulan aku sudah membacanya. Sekali lagi alam berpihak padaku.
“Kisah memukau tentang benturan dua peradaban!” aku berseru tanpa sedikitpun menyentuh buku yang masih dipegang Naura.
Beralih aku pada Bowo, “Udah baca novel ini, Wo?”
“Baca diktat aja susah saingin kamu, gimana mau ditambah baca novel, Fa?”
Sebenarnya aku sudah tahu kalau Bowo memang tidak suka baca, kutu buku-nya hanya pada tingkatan diktat-diktat kuliah saja. Maka kukatakan padanya tentang novel yang dipegang Naura, “Judul aslinya Benin Adim Kirmizi. Novel ini lebih mengukuhkan nama Orhan Pamuk – seorang Turki – sebagai salah satu novelis dunia saat ini. Dengan cemerlang dia menggabungkan teka-teki misteri, kisah cinta dan renungan filsafat dengan latar kekuasaan Sultan Murat III di Kesultanan Utsmaniyah...”
Aku berhenti sebentar. Melihat reaksi Naura dan Bowo...
Tampak dengan jelas wajah Naura bercahaya. Sinar cahaya itu seperti menubruk hatiku, dan beberapa saat mampu membuat bibirku terkatup.
Sedang Bowo, dia nampak mulai resah dan gelisah. Mungkin dia tidak suka pembicaraanku, atau novel itu. Atau barangkali dia tak suka aku duduk di depan mereka.
“Jadi mas sudah selesai membaca novel ini?” Naura bertanya.
Aku mengangguk. “Aku punya edisi Inggrisnya: My Name is Red...”
“Novel ini yang hendak diskripsikan Naura, Fa...” Bowo menyela.
“Wow...,” meluncur begitu saja dari bibirku, sebagai luapan rasa kagum dan harapan yang membentang.
Akupun berpikir agar Naura lebih tertarik lagi tanpa harus membuat Bowo resah.
Seorang pelayan mendekatiku dan mengatakan dengan ramah bahwa menu yang aku pesan telah siap di mejaku.
Aku mengangguk, “Terima kasih, Mbak.” Pelayan itu tersenyum dan kembali ke tempatnya.
Hadoohhh, gimana ini? Padahal aku masih ingin melakukan pendekatan pada Naura. Yang ini masih terlalu sederhana, belum apa-apa.
Aku segera berdiri. Bagaimanapun juga aku harus kembali ke mejaku. Kepada Naura harus aku berikan kesan yang cerdas.
“Memang diperlukan membaca novel ini 2-3 kali, Insya Allah, akan kamu dapatkan nilai keindahannya, kecerdasan pengarangnya, dan betapa hebatnya isi nilai novel ini. OK, goodluck, Na. Jika mau aku bisa pinjami versi Inggrisnya, gimana?”
“Mau, mau, tentu saja aku mau...” jawab Naura. “Pinjamin dong...”
“Boleh, datang aja ke rumah.” Kemudian aku berkata ke Bowo, “Thanks, Wo. Menuku telah siap, aku balik ke mejaku. Sukses ya...”
***
Note: disunting dari sebuah novel Kuhapus Namamu dengan Nama-Nya, karya Taufiqurrahman Al-Azizy.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar