Kamis, 10 Maret 2011

ASEM DEPOK


Pohon asem bercabang lima ini berukuran lebih dari 5 kali panjang lengan orang dewasa. Tingginya sih, tidak terlalu tinggi, sekitar 5 - 6 meter saja dari permukaan tanah. Waktu aku masih kecil pohon asem itu sudah ada, dengan besar dan tinggi sama seperti sekarang. Menurut cerita Bapakku, waktu bapak dan ibu masih kecil pohon asem itu juga sudah ada, bahkan semasa kecil simbahku pun sudah ada, dan lebih anehnya berukuran sama seperti sekarang. Tapi memang benar, siapapun yang mengamatinya, pohon asem ini lebih mirip bonsai pohon asem, cuma ukurannya yang besar saja.

Aku sendiri salah seorang pengagum bonsai. Cuma kadang kurang suka dengan perlakuaannya. Terkecuali kalau bonsai itu sebagai yoni, asli bentukan alam, itu baru aku suka. Yah, seperti asem Depok itu, asli bentukan alam. Andai saja sebagai pohon bonsai, misal dijual tentu harganya bisa berlipat-lipat juta.

Sayang sekali, aku belum sempat mendokumentasikannya dalam bentuk gambar atau pun foto. So pasti, itu pohon asem  so beautiful. Gagah, tegak menjulang di antara tanaman padi di sawah, tanpa menunjukkan sedikitpun kecongkakan pada dirinya. Kokoh, lekuk-lekuk cabangnya yang artistik menunjukkan betapa tua usianya makin keras dan matang karakternya. Ranting-rantingnya meliuk-liuk dan bebas berbagi arah tumbuh, seolah menunjukkan suatu keluwesan dalam kebebasan. Teduh, daun-daunnya rimbun, meski daun pohon asem sendiri berukuran sangat mini, rupanya mampu memberikan segala keteduhan yang ada di bawahnya. Memang, segala yang dimiliki pohon asem ini betul-betul menunjang keangkerannya. Tapi, lain halnya bagiku, dari sudut pandang yang berbeda, ternyata pohon ini seolah dapat menunjukkan suatu nilai kebijaksanaan dan kewibawaan.

Seringkali setiap lewat di sana, membayangkan duduk-duduk berteduh di bawahnya, sambil menikmati pemandangan sawah yang sebegitu luasnya, sejauh mata memandang sawah semua, dan anggunnya deretan perbukitan yang membiru dari kejauhan. Betapa bangsaku yang berlimpah lumbung pangannya bisa berlimpah pula kemelaratan dan kelaparannya. Kadang pula aku berkhayal, di situ menjadi salah satu tempatku untuk berekreasi dan berinspirasi. Atau setidaknya tempat pelarian dari carut-marutnya rasa  ketidakadilan rasa dan suasana. Tapi, niat itu belum pernah terwujud hingga sekarang. Mitos terkadang membuatku takut, dan mistic membuatku berhati-hati berbuat mistakes. Sementara cukuplah dengan mengaguminya dari tempat yang agak jauh saja. 

Bisa jadi usia pohon asem ini, Mbah Depok, seperti yang orang-orang bilang, berumur ratusan tahun lebih. Konon ceritanya, dulu pernah menjadi peristirahatan Joko Bandung Bondowoso dan Dewi Loro Jonggrang (roman candi Prambanan). Selain itu, di bawah pohon asem Depok ini terdapat sebuah sendang (mata air) kecil, menurut ceritanya siapa saja yang minum air atau mandi dari air sendang ini bisa awet muda, karena Dewi Lorojonggrang pernah mandi di sendang ini.

Pohon asem dan Sendang Depok ini dikeramatkan oleh masyarakat setempat, terletak di dusun Kebonagung, desa Karangjati, Wonosegoro, Boyolali. Di dusun inilah tempat ibuku dilahirkan, demikian juga aku. Dari dulu, setiap pagi dan sore banyak ayam alas yang bertengger di dahan-dahan pohon asem Depok ini, dan disekitar sendang banyak sapi dan kerbau yang berkeliaran tanpa ada penggembalanya, entah siapa yang punya. Ibuku bilang, binatang-binatang itu “piaraan” Mbah Depok. Warga setempat pun tak ada yang berani macam-macam, apalagi mengusik, “piaraan-piaraan” Mbah Depok itu. Soalnya, pernah ada suatu cerita, yang aku sendiri belum meyakini kebenarannya. Dulu pernah kejadian ada orang yang menangkap ayam alas di situ, sore harinya langsung meriang dan kejang-kejang. Pagi harinya meninggal. Kemudian ada lagi seorang anak, waktu itu sedang menggembala kambing di sekitar Asem Depok. Ehh, konon katanya hilang dan tak pernah pulang sekaligus dengan kambing-kambingnya. Dan masih banyak lagi cerita dari orang-orang tentang kejadian seperti demikian yang tidak bisa disebutkan di sini sekarang satu per satu.

Entah kenapa pohon asem ini dinamakan Mbah Depok, belum pernah ada yang tahu pasti. Sering aku coba mencari tahu, tetapi tidak pernah temukan jawaban yang memuaskan. Bahkan, ada yang melarang untuk menyebut-nyebut nama itu, karena bisa bikin amsyong. Aku sendiri masih penasaran sampai sekarang. Ya, mudah-mudahan saja, seiring berjalannya waktu, segera dapat kutemukan jawaban yang memuaskan rasa keingintahuanku itu.

Dulu, tidak ada yang berani bertempat tinggal di dekat pohon itu, tapi sekarang sudah lumayan ada beberapa. Meski masih agak sedikit jauh, dan tentu saja tanpa mengusik pohon asem itu sendiri. Ayam alas, sapi liar dan kerbau liar sekarang juga sukar ditemukan di sekitar Asem Depok, entah pada pergi ke mana mereka semua. Air sendang pun kadang berisi air dan kadang juga kering, padahal dulu selalu terisi penuh dan jernih.

Seandainya saja tidak teringat akan hal yang tak mengenakkan, tentunya hal ini mungkin kurang perlu untuk aku ceritakan. Waktu itu sedang liburan semester. Aku sendiri baru menempuh tahun pertama kuliah. Dari kecil, saat libur sekolah tiba, memang aku terbiasa berlibur di kampung halaman bapak dan ibuku. Pagi hari, aku dan abangku bermaksud mengunjungi dusun tetangga, dengan berjalan kaki. Kebetulan abangku sendiri waktu itu sedang cuti dari pekerjaannya. Dusun yang akan kami kunjungi itu bernama Krangkeng, Desa Karangjati dan masih satu kecamatan, Wonosegoro. Krangkeng sendiri merupakan dusun tempat kelahiran bapakku. Kebetulan jalur tercepat adalah lewat Asem Depok, dan jalur ini sudah biasa aku lewati sejak aku dan abangku masih kecil, jalur yang melintasi areal persawahan dan ladang yang dulunya sebagian besar milik simbahku,  sekarang sudah jadi miliknya banyak orang.

Nah, tepat pada saat kami melintas di depan pohon angker ini, tiba-tiba muncul pikiran usilku, dan sepertinya sama sekali tidak ada rasa takut dalam diriku, padahal dulu mendengar namanya saja merinding. Sebenarnya waktu itu aku cuma bilang sambil berteriak, “Mbah, aku lewat, Mbah... putumu lewat, Mbah... tinggal sik yo, Mbah... Daa... Da Daaa...!!!” Cuma itu yang aku ucapkan, dan kakakku juga terkejut saat melihat aku berkelakuan seperti itu, tapi dia cuma bilang “Huusssy...!!!” Tapi aku tak mempedulikannya. Malah aku menambahkan, “Asli mbah, putumu lewat... putu asli, daaa...!!!” Habis itu, kita berdua malah tertawa cekikikan. Mungkin abangku merasa geli juga dengan kekonyolanku.

Jadi, kira-kira apa hasil yang kupetik dari perbuatanku itu? Sebenarnya kurang masuk di akal, tapi betul-betul kejadian. Kami sampai di dusun tujuan saat maghrib tiba. Padahal semestinya kami bisa sampai dalam waktu 45 menit, selambat-lambatnya 1 jam. Kami kesasar di jalan yang sudah biasa kami tempuh sejak kecil. Tersesat sampai di pemukiman paling pelosok, dan warganya yang kami tanya arah menuju desa tujuan kami turut terheran-heran pula. Bahkan kami sendiri tak sempat untuk mengingat nama-nama pemukiman itu. Andai saja terpikir untuk mengingatnya, tentunya bisa di-maping, dibuat rute perjalanan, dan bisa dihitung jarak tempuh. Wah, aku yakin pasti jalan yang kami tempuh itu sangatlah jauh. Belum lagi ditambah dengan bolak-baliknya. Bayangkan saja, sehari penuh berjalan.

Demikianlah, sampai maghrib kami sampai ke desa tujuan cuma dari bertanya-tanya pada setiap orang yang kami temui. Setiap bertanya, mereka bilang selalu salah arah. Bertanya lagi salah arah lagi, dan seterusnya. Bahkan, untuk kembali ke tempat semula saja, demi sekedar menentukan checkpoint aja susahnya ‘audubillah.

Lama-lama kami pun bosan bertanya-tanya. Malu juga terus-terusan bertanya. Ini bukan persoalan malu bertanya bakalan sesat di jalan, terlebih dalam kondisi yang sudah tersesat. Tetapi malunya setiap kali bertanya, selalu orang-orang yang kami tanyai balik bertanya demikian, “Kala wau saking pundi, Mas? Badhe tindak pundi?” (Tadi dari mana, Mas? Mau pergi ke mana?). Dan tentu saja kami pun menjawab, “Saking Kebonagung, badhe dateng Krangkeng” (Dari Kebonagung mau ke Krangkeng). Ya itu, yang bikin kami malu. Masa sich, dari Kebonagung ke Krangkeng saja harus kesasar sampai ke tempat-tempat yang paling nderik begitu. Lebih malunya lagi orang-orang yang kami tanyai itu pada tersenyum-senyum, dan ada yang ketawa sampai ngakak. Kesasar kok di rumah sendiri. Urusan “dari” dan “ke” inilah yang seolah membuat kami malu dan bodoh di hadapan orang-orang yang kami tanyai. Jadi, aku dan abangku akhirnya bersepakat, apapun yang terjadi kami tidak akan bertanya-tanya lagi.

Tapi kesepakatan kami untuk tidak akan bertanya ternyata juga menuai banyak kendala. Rupanya kami melupakan tradisi ndeso. Di mana-mana, orang ndeso itu kalau bertemu dengan sesama manusia selalu melakukan 3 S (senyum, salam, sapa). Jadi, tidak bertanya sekalipun, kami akan disapa, dan kami pun akan ditanya. Dan mau tak mau, suka tak suka, akhirnya hal yang memalukan “dari” dan “ke” itu keluar juga. Betul-betul, sulit dibayangkan rasanya. Betul-betul tersiksa. Haus, lapar, letih dan... malu. Malu sekali rasanya. Seolah mati segan, hidup pun tak mau.

Singkat cerita. Tentunya dengan bantuan orang-orang yang kami temui di sepanjang perjalanan, tibalah kami di Krangkeng. Badan kami terasa lemas, pegal-pegal dan kepala pusing, setelah berjalan dari pagi sampai maghrib. Baru setelah beristirahat baru kami berpikir kejadian apa yang telah menimpa kami, yang semestinya secara nalar tidak perlu terjadi. Sedangkan dari hasil perbuatan kami ini, ternyata juga membuat panik keluarga kami, karena kami disangka hilang. Dan seandainya habis isya’ kami belum datang, akan dilaporkan pada polisi dan warga setempat akan melakukan pencarian.

Begitu kami bercerita tentang kejadian yang baru saja kami alami, kebanyakan orang-orang mengatakan, “Kalian sudah bikin Mbah Depok marah...!!!” Dan kami pun tak kuasa untuk menyangkalnya. *****

1 komentar:

  1. kebonagung kie kelurahan bandung bang,,,dikoreksi lagi art
    ikelnya

    BalasHapus